Sunday, December 20, 2009

"Enta ma'a man ahbabta?"

Pada suatu hari, salah seorang pengikut Nabi Isa as berdakwah di sebuah kota kecil. Orang-orang memintanya untuk melakukan mukjizat; menghidupkan orang mati, sebagaimana yang telah dilakukan Nabi Isa.

Pergilah mereka ke pemakaman dan berhenti di sebuah kuburan. Pengikut Nabi Isa itu lalu berdoa kepada Tuhan agar mayat dalam kuburan tersebut dihidupkan kembali. Mayat itu bangkit dari kuburnya, melihat ke sekeliling, dan berteriak-teriak, ?Keledaiku! Mana keledaiku?? Ternyata semasa hidupnya, orang itu sangat miskin dan harta satu-satunya yang paling ia cintai adalah keledainya.

Pengikut Nabi Isa itu lalu berkata kepada orang-orang yang menyertainya, Engkau pun kelak seperti itu. Apa yang kau cintai akan menentukan apa yang akan terjadi denganmu saat engkau dibangkitkan. "Anta ma'a man ahbabta". Di hari akhir nanti, engkau akan bersama dengan yang kaucintai.

Friday, December 18, 2009

Kepala Ikan untuk Sang Nelayan

Seorang nelayan salih di Tunisia tinggal di sebuah gubuk yang sederhana dari tanah liat. Setiap hari ia melayarkan perahunya untuk menangkap ikan. Setiap hari, ia terbiasa menyerahkan seluruh hasil tangkapannya pada orang-orang miskin dan hanya menyisakan sepotong kepala ikan untuk ia rebus sebagai makan malamnya.

Nelayan itu lalu berguru kepada syaikh besar sufi, Ibn Arabi. Seiring dengan berlalunya waktu, ia pun menjadi seorang syaikh seperti gurunya.

Suatu saat, salah seorang murid sang nelayan akan mengadakan perjalanan ke Spanyol. Nelayan itu memintanya untuk mengunjungi Syaikhul Akbar, Ibn Arabi. Nelayan itu berpesan agar dimintakan nasihat bagi dirinya. Ia merasakan kebuntuan dalam jiwanya.

Pergilah murid itu ke kota kediaman Ibn Arabi. Kepada penduduk setempat, ia menanyakan tempat tinggal sang syaikh. Orang-orang menunjukkan kepadanya sebuah puri indah bagai istana yang berdiri di puncak suatu bukit. "Itulah rumah Syaikh," ujar mereka.

Murid itu amat terkejut. Ia berfikir betapa amat duniawinya Ibn Arabi dibandingkan dengan gurunya sendiri, yang tak lebih dari seorang nelayan sederhana.

Dengan penuh keraguan, ia pun pergi mengunjungi rumah mewah yang ditunjukkan. Sepanjang perjalanan ia melewati ladang-ladang yang subur, jalanan yang bersih, dan kumpulan sapi, domba, dan kambing. Setiap kali ia bertanya kepada orang yang dijumpainya, selalu ia memperoleh jawaban bahwa pemilik dari semua ladang, lahan, dan ternak itu tak lain ialah Ibn Arabi. Tak henti-hentinya ia bertanya kepada diri sendiri, bagaimana mungkin seorang materialistik seperti itu boleh menjadi seorang guru sufi.

Ketika tiba ia di puri tersebut, apa yang paling ditakutinya terbukti. Kekayaan dan kemewahan yang disaksikannya di rumah sang syaikh tak pernah ia bayangkan, bahkan dalam mimpinya. Dinding rumah itu terbuat dari marmer, seluruh permukaan lantainya ditutupi oleh karpet-karpet mahal. Para pelayannya mengenakan pakaian dari sutra. Baju mereka lebih indah dari apa yang dipakai oleh orang terkaya di kampung halamannya.

Murid itu meminta untuk bertemu dengan sang syaikh. Pelayan menjawab bahwa Syaikh Ibn Arabi sedang mengunjungi khalifah dan akan segera kembali. Tak lama kemudian, ia menyaksikan sebuah arak-arakan mendekati puri tersebut. Pertama muncul pasukan pengawal kehormatan yang terdiri dari tentara khalifah, lengkap dengan perisai dan senjata yang berkilauan, mengendarai kuda-kuda arabia yang gagah. Lalu muncullah Ibn Arabi dengan pakaian sutra yang teramat indah, lengkap dengan surban yang lazim dipakai para sultan.

Si murid lalu dibawa menghadap Ibn Arabi. Para pelayan yang terdiri dari para pemuda tampan dan gadis cantik membawakan kue-kue dan minuman. Murid itu pun menyampaikan pesan dari gurunya. Ia menjadi tambah terkejut dan geram ketika Ibn Arabi mengatakan kepadanya, "Katakanlah pada gurumu, masalahnya adalah ia masih terlalu terikat kepada dunia."

Tatkala murid itu kembali ke kampungnya, guru nelayan itu dengan antusias menanyakan apakah ia sempat bertemu dengan syaikh besar itu. Dipenuhi keraguan, murid itu mengaku bahwa ia memang telah menemuinya. "Lalu," tanya nelayan itu, "apakah ia menitipkan kepadamu suatu nasihat bagiku?"

Pada awalnya, si murid enggan mengulangi nasihat dari Ibn Arabi. Ia merasa amat tak pantas mengingat betapa berkecukupannya ia lihat kehidupan Ibn Arabi dan betapa berkekurangannya kehidupan gurunya sendiri.

Namun karena guru itu terus memaksanya, akhirnya murid itu pun bercerita tentang apa yang dikatakan oleh Ibn Arabi. Mendengar itu semua, nelayan itu berurai air mata. Muridnya tambah kehairanan, bagaimana mungkin Ibn Arabi yang hidup sedemikian mewah, berani menasihati gurunya bahwa ia terlalu terikat kepada dunia.

"Dia benar," jawab sang nelayan, "ia benar-benar tak peduli dengan semua yang ada padanya. Sedangkan aku, setiap malam ketika aku menyantap kepala ikan, selalu aku berharap seandainya saja itu seekor ikan yang utuh.

Monday, December 14, 2009

..ERTI CINTA.. (Al-Junaid Al-Baghdadi - Mahkota Kerohanian)

Pada satu musim haji, beberapa orang ahli sufi telah berkumpul di Mekkah termasuk Abu Bakar Al-Kattani dan Al-Junaid Al-Bagdadi. Waktu itu Junaid masih lagi muda tetapi merupakan ahli sufi,yang demikian beliau merupakan kalangan ahli sufi yang termuda di dalam majlis tersebut.

Mereka sedang membahaskan konsep cinta kepada Allah khususnya menurut ahli sufi. Masing-masing mengemukakan pendapat masing-masing di dalam majlis tersebut. Setelah itu mereka yang lain merasa ingin mendengar pula pendapat ahli sufi muda ini dalam hal tersebut.
"Sila kemukakan pendapatmu wahai pemuda iraq." kata mereka kepada Al-Junaid. Maka tertunduklah kepala Al-Junaid dan bersertalah air matanya mengalir dipipinya yang kemudian mengangkat kembali kepalanya seraya berkata,

"Orang yang asyik Cinta kepada Allah ialah orang yang membebaskan dirinya dari segala nafsunya, dan sebagai akibat daripada itu, dia hanya menyibukkan dirinya berzikir kepada Allah S.W.T.

Dia sentiasa melaksanakan segala tugas-tugas yang Allah suruhkan kepadanya, dia melihat kebesaran Allah dengan mata hatinya. Nur Allah dan kebesaran-Nya menguasai dan menghiasi seluruh jiwanya, sehingga kosong hatinya dari apa saja melainkan Allah. Dia telah minum air cinta yang jernih daripada-Nya.

Tersingkaplah segala Hijab sehingga jelas baginya. maka jika ia bercakap, dia tidak bercakap melainkan bersama Allah.

Dari mulutnya tidak keluar satu perkataan melainkan Allah. Demikian jua jika ia bergerak, maka gerak itu atas perintah Allah, dan jika ia mendiamkan diri, dia bersama Allah. Pokoknya segala apa saja gerakan, perkataan dan fikirannya hanyalah kerana Allah dan bersama Allah."
Mendengar keterangan yang sangat menakjubkan itu, maka menangislah kesemua ahli sufi yang hadir dan syeikh yang hadir, lalu berkata " Tidak ada penjelasan yang lebih baik dan terang selain itu." Mereka tersangat kagum kepada Junaid kerana masih terlalu muda dan berupaya mengeluarkan perkataan itu. "Semoga Allah tetap membimbingmu wahai mahkota kerohanian." kata mereka lagi.

3 nasihat buat si salik(Pencari Allah)

Pada suatu hari, ada seseorang menangkap burung. Burung itu berkata kepadanya, Aku tak berguna bagimu sebagai tawanan. Lepaskan saja aku. Nanti aku beri kau tiga nasihat.

Si burung berjanji akan memberikan nasihat pertama ketika berada dalam genggaman orang itu. Yang kedua akan diberikannya kalau ia sudah berada di cabang pohon dan yang ketiga ketika ia sudah mencapai puncak bukit.

Orang itu setuju, lalu ia meminta nasihat pertama. Kata burung itu, Kalau kau kehilangan sesuatu, meskipun engkau menghargainya seperti hidupmu sendiri, jangan menyesal.

Orang itu pun melepaskannya dan burung itu segera melompat ke dahan. Disampaikannya nasihat yang kedua, Jangan percaya kepada segala yang bertentangan dengan akal, apabila tak ada bukti.

Kemudian burung itu terbang ke puncak gunung. Dari sana ia berkata, Wahai manusia malang! Dalam diriku terdapat dua permata besar, kalau saja tadi kau membunuhku, kau akan memperolehnya. Orang itu sangat menyesal memikirkan kehilangannya, namun katanya, setidaknya, katakan padaku nasihat yang ketiga itu!

Si burung menjawab, Alangkah tololnya kau meminta nasihat ketiga sedangkan yang kedua pun belum kau renungkan sama sekali. Sudah kukatakan padaku agar jangan kecewa kalau kehilangan dan jangan mempercayai hal yang bertentangan dengan akal. Kini kau malah melakukan keduanya. Kau percaya pada hal yang tak masuk akal dan menyesali kehilanganmu. Aku pun tidak cukup besar untuk menyimpan dua permata besar! Kau tolol! Oleh karenanya kau harus tetap berada dalam keterbatasan yang disediakan bagi manusia.

(Catatan: Dalam lingkungan sufi, kisah ini dianggap sangat penting untuk mengakalkan fikiran siswa sufi, menyiapkannya menghadapi pengalaman yang tidak boleh dicapai dengan cara-cara biasa. Di samping penggunaannya sehari-hari di kalangan sufi, kisah ini terdapat juga dalam karya klasik Rumi, Matsnawi. Kisah ini juga ditonjolkan dalam Kitab Ketuhanan karya Fariduddin Aththar, salah seorang guru Rumi. Kedua tokoh sufi itu hidup pada abad ketiga belas.)

Wednesday, December 9, 2009

Zun' nun Al-Misri - Mengenal Sufi

Dalam khazanah kisah kisah sufi ada diceritakan tentang seorang pemuda yang begitu lantang mencemuh tokoh sufi Zun Nun Al Misri dan tarikatnya. Sesudah si pemuda puas memperlihatkan kebenciannya, Al Misri mencabut cincin daripada jarinya dan berkata, "Bawalah cincin ini ke pasar, gadaikanlah dengan harga satu dinar saja"
Pemuda itu hairan, namun cincin itu diterimanya jua dan dibawa ke pasar. Dia menawarkan kepada para pedagang, dari penjual buah sampai penjual makanan. Tiada seorang pun melirik apatah lagi tertarik. Lalu dengan wajah hampa pemuda itu kembali kepada Al Misri dan berkata, "Engkau membohongiku, cincin ini tidak berharga"

Jawab Al Misri, " Jangan marah dulu, sekarang juallah cincin itu kepada ahli permata. Tawarkan seribu dinar."

Tentu saja pemuda itu menjadi gusar. tapi rasa ingin tahunya membuatkan dia menuruti perintah ahli sufi itu. Sungguh menghairankan, ternyata para pedagang permata berebut untuk membeli cincin itu. Pemuda itu merasa takjub dan bergegas menemui Al Misri dan berkata " Mereka bersaing untuk membelinya."

"Nah." kata Al Misri. "Orang tidak akan mengetahui suatu benda berharga atau tidak jika ia belum mengenalnya. Bagaimana mungkin kamu berani mencaci para sufi dan ilmu tasauf, jika kamu belum mengetahui isinya? Pelajari dulu baik baik, barulah tentukan pendapatmu. Itulah sikap orang bijak."

30 Tahun Pencarian...

Ahli sufi tdk merasa akan kehidupannya yg di alami kerana bgnya ia cuma mimpi.. mereka tdk dapat membezakan antara kesakitan dan kesenangan. Bahkan mereka memilih utk kesusahan krn membuatkan ia tdk bergantung kpd selainNYA.

"Selama 30 tahun aku mencari diriku, bila kutemui, baru kurasa kehidupan setelah kematianku, sdgkan jasadku blum lagi mati.."

"Suatu hri ada org kaya menjemput seorang miskin yg hina di mata masyarakat, utk pergi kenduri dirumahnya, namun bila si miksin sampai ke rumah tersebut, dia dihalau krn wajahnya menakutkan dan kotor, dia pun pulang.

Pd mggu kedua, org yg sama menjemput spy ia hadir ke majlis kesyukuran, namun bila ia sampai, dia dihalau krn wajahnya yg kotor dan pakaiannya yg comot, dia pun pulang...
Mggu yg ke-3 terjadilah perkara yg sama, sewaktu dia pulang seseorang telah menegurnya seraya bertanya:

"Tuan, tuan datang bila dijemput, tuan pulang tanpa rasa kecewa bila dihalau, mengapa tuan tdk marah krn diperlakukan sdemikian rupa?"

Dia menjawab:
"Masakan saya marah, kamu lihat anjing, bila dipanggil ia datang, bila dihalau ia pergi.. anjing pun boleh buat sedemikian, inikan pula saya hamba Allah sebaik2 kejadian.."

Terdengar jawapan, org yg bertanya td terpaku bagai ditusuk panah ke juzuk hatinya lalu pitam krn terlhat keajaiban hati seorang insan berjiwa sufi.

"Bunuhlah dirimu dan kembali kpdNYA, robekkan jiwamu kosong, biar cuma ada DIA."

Tuesday, December 8, 2009

Zinnirah - Wanita Berjiwa Sufi

Zinnirah adalah seorang gadis yangberasal dari Rome. Kehidupan keluarganya sangat miskin dan dalamkeadaan serba kekurangan. Ketika berlaku satu peperangan besar di Rome ,Zinnirah terpisah daripada keluarganya lalu menjadi tawanan perang.

Sejak itudia dijual sebagai hamba dan sering bertukar tangan. Sepanjang menjadi hamba abdi, Zinnirah dilayan dengan kasar dan adakalanya diperlakukan seperti binatang oleh tuannya. Suatu hari Zinnirah berkenalan dengan seorang hamba yang senasib dengannya.

Perkenalan itu akhirnya membawa Nur Islam dalam diri Zinnirah kerana hamba itu menerangkan ajaran yang disampaikan oleh Rasulullah. Penerangan yang tulus itu membuka hati Zinnirah untuk memeluk Islam. Namun, dia terpaksa melakukan ibadat secara rahsia kerana tuannya memusuhi Islam.

Nasibnya lebih malang apabila dia bertukar tangan kepada bangsawan Quraisy yang sangat berpengaruh masa itu, Umar Al-Khattab. Ketika itu, Umar belum memeluk Islam dan juga tidak mengetahui keIslaman Zinnirah. Umar yang sangat memusuhi Rasulullah terkenal dengan bengis dan kasarnya sehingga digeruni, baik lawan maupun kawan.

Akhirnya, Umar mengetahui mengenai keIslaman Zinnirah apabila suatu hari dia mendengar gadis itu membaca al-Quran. Ini menimbulkan kemarahan Umar yang mahu menghukumnya dengan siksaan berat.

“Tahukah kamu apa hukuman yang layak untukmu?” Tanya Umar keras dengan wajah bak singa sambil mengheret Zinnirah ke tengah padang pasir. Di situ, Umar mengikat kaki dan tangan Zinnirah dan menjemurnya di tengah panas terik. “Inilah caranya supaya kamu insaf,” katanya lalu meninggalkanZinnirah di situ.

Walaupun mukanya perit dipanah matahari dan kehausan, Zinnirah tabah menghadapi penderitaan itu sambil mulutnya tidak berhenti membisikkan Allah.. Allah…Apabila melihat hamba abdinya belum insaf, Umar menyeretnya ke pinggir kota dan mengikatnya di tiang. Dia menyuruh orang mengorek mata Zinnirah sehingga buta. Walaupun darah bercucuran daripada matanya dan dia diejek oleh orang kafir Quraisy yang percaya dia dilaknat tuhan Lattadan Uzza, iman Zinnirah tidak luntur malah mampu berkata, “Sekalipun aku dibunuh, kepercayaanku masih tetap pada Allah yang Esa. “Penderitaannya itu akhirnya sampai ke pengetahuan Abu Bakar as-Siddiq yang membeli Zinnirah dengan harga tinggi. Sejak itu, dia tekun beribadat dan dengan kurnia Allah, kedua-dua matanya yang buta itu bercahaya semula. Peristiwa yang mengagumkan ini menyebabkan ramaiorang Quraisy memeluk Islam.

Monday, December 7, 2009

Pembukaan kepada yang ghaib - Syeikh Abdul Qadir Al-Jilani

Dengan Nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang

Apabila seorang hamba Allah SWT itu diuji oleh Allah, maka mula-mulanya dia akan cuba melepaskan dirinya dari ujian atau cubaan yang menyusahkannya itu. Jika ia tidak berjaya, ia akan meminta pertolongan dari orang lain seperti raja-raja atau orang-orang yang berkuasa, orang-orang dunia, orang-orang hartawan dan jika ia sakit ia akan pergi meminta pertolongan doctor atau bomoh. Jika ini pun tidak berjaya, maka kembalilah ia menghadapkan wajahnya kepada Allah SWT dan memohon sambil merayu kepadaNya. Selagi ia boleh menolong dirinya, dia tidak akan meminta pertolongan orang lain. Selagi pertolongan orang lain didapatinya, dia tidak akan meminta pertolongan Allah SWT.

Jika dia tidak dapat pertolongan Allah, maka berterusanlah ia merayu, sembahyang, berdoa dan menyerahkan dirinya dengan penuh harapan dan cemas terhadap Allah SWT. Allah SWT tidak akan menerima rayuannya sehingga dia memutuskan dirinya dengan keduniaan. Setelah putuslah dia dengan hal-hal keduniaan, maka ketentuan dan kerja Allah akan terzahir melalui orang itu dan lepaslah ia dari hal-hal keduniaan. Tinggallah padanya ruh sahaja.

Pada peringkat ini tidaklah nampak olehnya melainkan kerja atau perbuatan Allah SWT den tertanamlah dalam hatinya kepercayaan yang sebenar-benarnya tentang tauhid ( keEsaan Allah). Pada hakikatnya tidak ada pelaku atau penggerak atau yang mendiamkan kecuali Allah SWT tidak ada baik dan tidak ada jahat, tiadan rugi dan tiada untung, dan tidak ada faedah dan tiada anugerah dan tidak ada sekatan, tidak terbuka dan tidak tertutup, mati dan hidup, mulia dan hina, kaya dan papa, bahkan segala-galanya adalah dalam ‘tangan’ Allah.

Hamba Allah itupun seperti bayi dipangkuan ibunya atau seperti orang mati yang sedang mendiamkan diri atau seperti bola dikaki pemain bola, melambung, bergolek ke atas, ke tepi dan ke tengah, senantiasa berubah tempat dan kedudukan. Dan tidak ada pada dirinya upaya dan daya. Maka lenyaplah ia keluar dari dirinya dan masuk ke dalam lakuan Allah SWT semata-mata.

Si hamba Allah yang begini tidak nampak yang lain kecuali Allah dan perbuatan-perbuatanNya. Tidak ada yang didengar dan diketahuinya kecuali Allah. Jika ia melihat sesuatu, maka dilihatnya perbuatan atau kerja Allah. Jika ia mendengar atau mengetahui sesuatu, maka didengarnya perkataan-perkataan Allah dan jika ia mengetahui sesuatu, maka diketahuinya melalui pengetahuan Allah. Ia akan dianugerahi dengan anugerah Allah. Beruntunglah dia, kerana hampirnya dengan Allah. Beliau akan diperhias dan dimuliakan.

Redhalah dia dengan Allah. Bertambah hampirlah dia dengan Tuhannya. Bertambahlah cintanya dengan Allah.Bertambalah seronoknya dalam mengenang Allah. Terdirilah ia ‘di dalam Allah’. Allah akan memimpinnya dan menghiasinya dengan pakaian cahaya ilmu Allah dan terbukalah kepadanya hijab yang melindunginya dari rahsia-rahsia Allah Yang Maha Agung. Beliau mendengar dan mengingat hanya dari Allah Yang Maha Tinggi. Sentiasalah dia bersyukur dan sembahyang ke hadrat Allah SWT.

Thursday, November 19, 2009

Syeikh Ibnu Athoi'llah Al-Iskandari

Kelahiran dan keluarganya
Pengarang kitab al-Hikam yang cukup populer di negeri kita ini adalah Tajuddin, Abu al-Fadl, Ahmad bin Muhammad bin Abd al-Karim bin Atho’ al-Sakandari al-Judzami al-Maliki al-Syadzili. Ia berasal dari bangsa Arab. Nenek moyangnya berasal dari Judzam yaitu salah satu Kabilah Kahlan yang berujung pada Bani Ya’rib bin Qohton, bangsa Arab yang terkenal dengan Arab al-Aa’ribah. Kota Iskandariah merupakan kota kelahiran sufi besar ini. Suatu tempat di mana keluarganya tinggal dan kakeknya mengajar. Kendatipun namanya hingga kini demikian harum, namun kapan sufi agung ini dilahirkan tidak ada catatan yang tegas. Dengan menelisik jalan hidupnya DR. Taftazani bisa menengarai bahwa ia dilahirkan sekitar tahun 658 sampai 679 H.

Ayahnya termasuk semasa dengan Syaikh Abu al-Hasan al-Syadili -pendiri Thariqah al-Syadziliyyah-sebagaimana diceritakan Ibnu Atho’ dalam kitabnya “Lathoiful Minan “ : “Ayahku bercerita kepadaku, suatu ketika aku menghadap Syaikh Abu al-Hasan al-Syadzili, lalu aku mendengar beliau mengatakan: “Demi Allah… kalian telah menanyai aku tentang suatu masalah yang tidak aku ketahui jawabannya, lalu aku temukan jawabannya tertulis pada pena, tikar dan dinding”.

Keluarga Ibnu Atho’ adalah keluarga yang terdidik dalam lingkungan agama, kakek dari jalur nasab ayahnya adalah seorang ulama fiqih pada masanya. Tajuddin remaja sudah belajar pada ulama tingkat tinggi di Iskandariah seperti al-Faqih Nasiruddin al-Mimbar al-Judzami. Kota Iskandariah pada masa Ibnu Atho’ memang salah satu kota ilmu di semenanjung Mesir, karena Iskandariah banyak dihiasi oleh banyak ulama dalam bidang fiqih, hadits, usul, dan ilmu-ilmu bahasa arab, tentu saja juga memuat banyak tokoh-tokoh tasawwuf dan para Auliya’ Sholihin
Oleh karena itu tidak mengherankan bila Ibnu Atho’illah tumbuh sebagai seorang faqih, sebagaimana harapan dari kakeknya. Namun kefaqihannya terus berlanjt sampai pada tingkatan tasawuf. Hal mana membuat kakeknya secara terang-terangan tidak menyukainya.

Ibnu Atho’ menceritakan dalam kitabnya “Lathoiful minan” : “Bahwa kakeknya adalah seorang yang tidak setuju dengan tasawwuf, tapi mereka sabar akan serangan dari kakeknya. Di sinilah guru Ibnu Atho’ yaitu Abul Abbas al-Mursy mengatakan: “Kalau anak dari seorang alim fiqih Iskandariah (Ibnu Atho’illah) datang ke sini, tolong beritahu aku”, dan ketika aku datang, al-Mursi mengatakan: “Malaikat jibril telah datang kepada Nabi bersama dengan malaikat penjaga gunung ketika orang quraisy tidak percaya pada Nabi. Malaikat penjaga gunung lalu menyalami Nabi dan mengatakan: ” Wahai Muhammad.. kalau engkau mau, maka aku akan timpakan dua gunung pada mereka”. Dengan bijak Nabi mengatakan : ” Tidak… aku mengharap agar kelak akan keluar orang-orang yang bertauhid dan tidak musyrik dari mereka”. Begitu juga, kita harus sabar akan sikap kakek yang alim fiqih (kakek Ibnu Atho’illah) demi orang yang alim fiqih ini”.

Pada akhirnya Ibn Atho’ memang lebih terkenal sebagai seorang sufi besar. Namun menarik juga perjalanan hidupnya, dari didikan yang murni fiqh sampai bisa memadukan fiqh dan tasawuf. Oleh karena itu buku-buku biografi menyebutkan riwayat hidup Atho’illah menjadi tiga masa :

Masa pertama
Masa ini dimulai ketika ia tinggal di Iskandariah sebagai pencari ilmu agama seperti tafsir, hadits, fiqih, usul, nahwu dan lain-lain dari para alim ulama di Iskandariah. Pada periode itu beliau terpengaruh pemikiran-pemikiran kakeknya yang mengingkari para ahli tasawwuf karena kefanatikannya pada ilmu fiqih, dalam hal ini Ibnu Atho’illah bercerita: “Dulu aku adalah termasuk orang yang mengingkari Abu al-Abbas al-Mursi, yaitu sebelum aku menjadi murid beliau”. Pendapat saya waktu itu bahwa yaang ada hanya ulama ahli dzahir, tapi mereka (ahli tasawwuf) mengklaim adanya hal-hal yang besar, sementara dzahir syariat menentangnya”.

Masa kedua
Masa ini merupakan masa paling penting dalam kehidupan sang guru pemburu kejernihan hati ini. Masa ini dimulai semenjak ia bertemu dengan gurunya, Abu al-Abbas al-Mursi, tahun 674 H, dan berakhir dengan kepindahannya ke Kairo. Dalam masa ini sirnalah keingkarannya ulama’ tasawwuf. Ketika bertemu dengan al-Mursi, ia jatuh kagum dan simpati. Akhirnya ia mengambil Thariqah langsung dari gurunya ini.
Ada cerita menarik mengapa ia beranjak memilih dunia tasawuf ini. Suatu ketika Ibn Atho’ mengalami goncangan batin, jiwanya tertekan. Dia bertanya-tanya dalam hatinya : “apakah semestinya aku membenci tasawuf. Apakah suatu yang benar kalau aku tidak menyukai Abul Abbas al-Mursi ?. setelah lama aku merenung, mencerna akhirnya aku beranikan diriku untuk mendekatnya, melihat siapa al-Mursi sesungguhnya, apa yang ia ajarkan sejatinya. Kalau memang ia orang baik dan benar maka semuanya akan kelihatan. Kalau tidak demikian halnya biarlah ini menjadi jalan hidupku yang tidak bisa sejalan dengan tasawuf.

Lalu aku datang ke majlisnya. Aku mendengar, menyimak ceramahnya dengan tekun tentang masalah-masalah syara’. Tentang kewajiban, keutamaan dan sebagainya. Di sini jelas semua bahwa ternyat al-Mursi yang kelak menjadi guru sejatiku ini mengambil ilmu langsung dari Tuhan. Dan segala puji bagi Allah, Dia telah menghilangkan rasa bimbang yang ada dalam hatiku”.
Maka demikianlah, ketika ia sudah mencicipi manisnya tasawuf hatinya semakin tertambat untuk masuk ke dalam dan lebih dalam lagi. Sampai-sampai ia punya dugaan tidak akan bisa menjadi seorang sufi sejati kecuali dengan masuk ke dunia itu secara total, menghabiskan seluruh waktunya untuk sang guru dan meningalkan aktivitas lain. Namun demikian ia tidak berani memutuskan keinginannya itu kecuali setelah mendapatkan izin dari sang guru al-Mursi.

Dalam hal ini Ibn Athoilah menceritakan : “Aku menghadap guruku al-Mursi, dan dalam hatiku ada keinginan untuk meninggalkan ilmu dzahir. Belum sempat aku mengutarakan apa yang terbersit dalam hatiku ini tiba-tiba beliau mengatakan : “Di kota Qous aku mempunyai kawan namanya Ibnu Naasyi’. Dulu dia adalah pengajar di Qous dan sebagai wakil penguasa. Dia merasakan sedikit manisnya tariqah kita. Kemudian ia menghadapku dan berkata : “Tuanku… apakah sebaiknya aku meninggalkan tugasku sekarang ini dan berkhidmat saja pada tuan?”. Aku memandangnya sebentar kemudian aku katakan : “Tidak demikian itu tariqah kita. Tetaplah dengan kedudukan yang sudah di tentukan Allah padamu. Apa yang menjadi garis tanganmu akan sampai padamu juga”.
Setelah bercerita semacam itu yang sebetulnya adalah nasehat untuk diriku beliau berkata: “Beginilah keadaan orang-orang al-Siddiqiyyin. Mereka sama sekali tidak keluar dari suatu kedudukan yang sudah ditentukan Allah sampai Dia sendiri yang mengeluarkan mereka”. Mendengar uraian panjang lebar semacam itu aku tersadar dan tidak bisa mengucapkan sepatah katapun. Dan alhamdulillah Allah telah menghapus angan kebimbangan yang ada dalam hatiku, sepertinya aku baru saja melepas pakaianku. Aku pun rela tenang dengan kedudukan yang diberikan oleh Allah”.

Masa ketiga
Masa ini dimulai semenjak kepindahan Ibn Atho’ dari Iskandariah ke Kairo. Dan berakhir dengan kepindahannya ke haribaan Yang Maha Asih pada tahun 709 H. Masa ini adalah masa kematangan dan kesempurnaan Ibnu Atho’illah dalam ilmu fiqih dan ilmu tasawwuf. Ia membedakan antara Uzlah dan kholwah. Uzlah menurutnya adalah pemutusan (hubungan) maknawi bukan hakiki, lahir dengan makhluk, yaitu dengan cara si Salik (orang yang uzlah) selalu mengontrol dirinya dan menjaganya dari perdaya dunia. Ketika seorang sufi sudah mantap dengan uzlah-nya dan nyaman dengan kesendiriannya ia memasuki tahapan khalwah. Dan khalwah dipahami dengan suatu cara menuju rahasia Tuhan, kholwah adalah perendahan diri dihadapan Allah dan pemutusan hubungan dengan selain Allah SWT.
Menurut Ibnu Atho’illah, ruangan yang bagus untuk ber-khalwah adalah yang tingginya, setinggi orang yang berkhalwat tersebut. Panjangnya sepanjang ia sujud. Luasnya seluas tempat duduknya. Ruangan itu tidak ada lubang untuk masuknya cahaya matahari, jauh dari keramaian, pintunya rapat, dan tidak ada dalam rumah yang banyak penghuninya.
Ibnu Atho’illah sepeninggal gurunya Abu al-Abbas al-Mursi tahum 686 H, menjadi penggantinya dalam mengembangkan Tariqah Syadziliah. Tugas ini ia emban di samping tugas mengajar di kota Iskandariah. Maka ketika pindah ke Kairo, ia bertugas mengajar dan ceramah di Masjid al-Azhar.
Ibnu Hajar berkata: “Ibnu Atho’illah berceramah di Azhar dengan tema yang menenangkan hati dan memadukan perkatan-perkatan orang kebanyakan dengan riwayat-riwayat dari salafus soleh, juga berbagai macam ilmu. Maka tidak heran kalau pengikutnya berjubel dan beliau menjadi simbol kebaikan”. Hal senada diucapkan oleh Ibnu Tagri Baradi : “Ibnu Atho’illah adalah orang yang sholeh, berbicara di atas kursi Azhar, dan dihadiri oleh hadirin yang banyak sekali. Ceramahnya sangat mengena dalam hati. Dia mempunyai pengetahuan yang dalam akan perkataan ahli hakekat dan orang orang ahli tariqah”. Termasuk tempat mengajar beliau adalah Madrasah al-Mansuriah di Hay al-Shoghoh. Beliau mempunyai banyak anak didik yang menjadi seorang ahli fiqih dan tasawwuf, seperti Imam Taqiyyuddin al-Subki, ayah Tajuddin al-Subki, pengarang kitab “Tobaqoh al-syafi’iyyah al-Kubro”.
Sebagai seoarang sufi yang alim Ibn Atho’ meninggalkan banyak karangan sebanyak 22 kitab lebih. Mulai dari sastra, tasawuf, fiqh, nahwu, mantiq, falsafah sampai khitobah.

Karomah Ibn Athoillah
Al-Munawi dalam kitabnya “Al-Kawakib al-durriyyah mengatakan: “Syaikh Kamal Ibnu Humam ketika ziarah ke makam wali besar ini membaca Surat Hud sampai pada ayat yang artinya: “Diantara mereka ada yang celaka dan bahagia…”. Tiba-tiba terdengar suara dari dalam liang kubur Ibn Athoillah dengan keras: “Wahai Kamal… tidak ada diantara kita yang celaka”. Demi menyaksikan karomah agung seperti ini Ibnu Humam berwasiat supaya dimakamkan dekat dengan Ibnu Atho’illah ketika meninggal kelak.
Di antara karomah pengarang kitab al-Hikam adalah, suatu ketika salah satu murid beliau berangkat haji. Di sana si murid itu melihat Ibn Athoillah sedang thawaf. Dia juga melihat sang guru ada di belakang maqam Ibrahim, di Mas’aa dan Arafah. Ketika pulang, dia bertanya pada teman-temannya apakah sang guru pergi haji atau tidak. Si murid langsung terperanjat ketiak mendengar teman-temannya menjawab “Tidak”. Kurang puas dengan jawaban mereka, dia menghadap sang guru. Kemudian pembimbing spiritual ini bertanya : “Siapa saja yang kamu temui ?” lalu si murid menjawab : “Tuanku… saya melihat tuanku di sana “. Dengan tersenyum al-arif billah ini menerangkan : “Orang besar itu bisa memenuhi dunia. Seandainya saja Wali Qutb di panggil dari liang tanah, dia pasti menjawabnya”.

Ibn Atho’illah wafat
Tahun 709 H adalah tahun kemalangan dunia maya ini. Karena tahun tersebut wali besar yang tetap abadi nama dan kebaikannya ini harus beralih ke alam barzah, lebih mendekat pada Sang Pencipta. Namun demikian madrasah al-Mansuriyyah cukup beruntung karena di situlah jasad mulianya berpisah dengan sang nyawa. Ribuan pelayat dari Kairo dan sekitarnya mengiring kekasih Allah ini untuk dimakamkan di pemakaman al-Qorrofah al-Kubro.

If Tomorrow Never Comes - Andai Esok Kiamat...

If tomorrow never comes
Have I done what I should have done today
Or did I just let time slip away

If tomorrow never comes
Have I said sorry to the people I have done wrong hurting
And plead to God for forgiveness for all my sinning

If tomorrow never comes
Did I say thanks to the people I know,
Or I just didn’t bother to show

If tomorrow never comes
I won’t let the day pass away,
And cherish what I have today

If tomorrow never comes
I’m sure to strive my best,
And make that day the best from the rest

We will never know if we have tomorrow,
So I plead to God with full of sorrow:
DEAR LORD SHOW ME THE WAY,
FOR YOUR WAY IS THE ONLY WAY,
AND MAKE MY EVERYDAY MY BEST DAY, AMIN!


ANDAI ESOK KIAMAT


Andai esok kiamat
Aku mahu mati
Dalam dakap kasih sahabat
Yang tahu peritnya aku

Andai esok kiamat
ingin kukucup dahi insan
Yg hampir syahid melahirkan
Relaku tebus segala dosanya
Tanda ku balas jasa..

Andai esok kiamat
Kuingin didakap
kasihnya seorang ayah
Yg mendidik agamaMU

Andai esok kiamat,
Belum lagi kupohon
Keampunanku yg lalu,
Walau kutahu kau Maha
Pengampun,

Andai esok kiamat,
Adakah diri hina ini
Akan terus hina di sisi MU,
Terimalah taubatku.

Wednesday, November 18, 2009

Rahmat-MU..

Alhamdulillah...

Hari ni ana rasa bersyukur sangat atas limpahan rahmatNYA, majlis hari kecemerlangan berjalan lancar.. ana diberi tugas mengurus teknikal PA sistem dan persembahan murid. segalanya berjalan dengan penuh ketenangan seperti yang dirancang. tak sangka latihan persembahan yang cuma 2 hari berjaya menjadi tumpuan semua dan menambat hati hadirin yang datang di majlis tu.. ana rasa tenang sangat. semuanya dengan pertolongan dan rahmat Allah yang Maha Luas.. mudah2an apa yang dipersembahkan dapat menjadi iktibar dan keinsafan dalam hati setiap hadirin.

sesungguhnya rahmatMU amat indah dan menenangkan jiwa...
Terima kasih ya Tuhan..
akan kuperjuangkan syiarMU di muka bumi ini selagi hayat ada dengan izinMU.
aku tiada daya tiada kekuatan melainkan dengan pertolonganMU ya Allah..
ku sentiasa dalam keinsafan.

Sunday, November 15, 2009

Hidupku untuk-MU...

Assalamu'alaikum..

Salam ukhuwah buat semua yg ziarah blog ana... semoga kehadiran kalian semua bakal memberikan sinar semangat buat ana yg sering jatuh di lembah dunia fana.. selaku hamba yg lemah dan jahil, pasti akan longlai dalam perjalanan yg masih jauh utkku bertemu Tuhan yg Agung...

Kau datang tika ku alpa,
Kau hilang tika ku cari,
Berilah ku peluang utk terus bersamaMU,
walau berat utk ku tanggung derita dunia ini dalam mencariMu..
namun kubahagia bila diri dalam dakapanMU...

aku mengenalMU dgnMu,
aku cintakanMU krn itu kehendakMU,
mengapa KAU hilang tika ku perlukanMU..
mengapa ku tersiksa bila berjauhan dgnMU...

Aku yg berdosa dalam menilai diri ini..
Aku yg lupa bila kucuba hargai dunia yg tiada,
Aku hina bila ku letak harapan pd dunia,
Sedang ku tahu itu semua milikMU...
Pengharapanku cuma pdMU...

Bunuhlah diri ini ya Tuhan...
Agar mati jiwa ini krnMU...
Agar hidupku matiku selalu bersamaMU..........


Maha Suci Tuhanku...
Ku rindukanMU..
Ku rindukan belaiMU..
Terimalah diriku walau ku tak layak mendampingiMU.

Friday, November 13, 2009

Pengikut Jalan Kerohanian

Orang-orang yang mengikuti jalan kerohanian terbahagi kepada dua bahagian atau golongan. Golongan pertama ialah yang termasuk ke dalam kumpulan Sunnis; mereka yang mengikuti peraturan Quran dan amalan serta peraturan yang berasal daripada kelakuan dan perbuatan Rasulullah s.a.w. Mereka ikuti peraturan ini dalam perkataan, perbuatan, pemikiran dan perasaan, dan mereka mengikuti maksud batin agama - iaitu mereka mengerti bukan ikut secara taklid buta. Mereka beramal dan hidup menurut peraturan agama, merasainya dan menikmatinya, bukan semata-mata menanggung sesuatu yang dipaksakan ke atas mereka. Inilah jalan kerohanian yang mereka ikut. Inilah persaudaraan hamba-hamba Allah yang berkasih sayang. Sebahagian daripada mereka dijanjikan syurga tanpa hisab, yang lain akan menderita sedikit azab hari kiamat dan kemudian masuk syurga. Namun ada juga sebahagian yang memasuki neraka beberapa ketika yang singkat untuk menyucikannya daripada dosa sebelum masuk syurga. Tiada yang akan kekal di dalam neraka. Yang akan kekal di dalam neraka ialah orang kafir dan munafik.

Golongan kedua terdiri daripada kumpulan-kumpulan yang bidaah. Nabi s.a.w telah memberi peringatan, " Kamu, seperti Bani Israil sebelum kamu, seperti umat Isa anak Maryam, akan dibahagikan dan dipisahkan di antara satu sama lain. Sebagaimana mereka mereka-reka dan mengubah-ubah, kamu juga akan mengadakan bidaah. Dengan masa berlalu dalam bidaah, tentangan dan dosa, kamu akan jadi seperti mereka dan berbuat yang sama. Jika mereka masuk ke dalam lubang ular yang berbisa kamu juga akan mengikuti mereka. Kamu patut tahu Bani Israil berpecah kepada tujuh puluh satu kumpulan. Kesemuanya dalam kesesatan kecuali satu. Dan orang Nasrani berpecah kepada tujuh puluh dua kumpulan, dan semuanya sesat kecuali satu. Aku bimbang umatku akan dipecahkan kepada tujuh puluh tiga kumpulan. Ini terjadi kerana mereka mengubah yang benar kepada yang salah dan yang haram kepada yang halal menurut pertimbangan mereka sendiri, untuk muslihat dan keuntungan mereka, kecuali satu, semua kumpulan itu akan ke neraka, dan kumpulan yang satu itu akan selamat." Bila ditanya siapakah yang satu diselamatkan itu baginda bersabda, "Mereka yang mengikuti kepercayaan dan perbuatanku serta para sahabatku".

Di bawah ini dinyatakan sebahagian daripada jalan bidaah yang dipegang dan diikuti oleh orang-orang yang mengakui diri mereka orang kerohanian:
Hululiyya - percaya kepada penjelmaan dalam bentuk makhluk atau manusia, mendakwa halal melihat tubuh dan wajah yang cantik, samada perempuan atau lelaki, siapa sahaja samada isteri-isteri atau suami-suami, anak-anak perempuan atau saudara-saudara perempuan orang lain. Mereka juga bercampur dan menari bersama-sama. Ini jelas bertentangan dengan peraturan Islam dan menjaga kesucian dan kehormatan di dalam peraturan tersebut.

Haliyya - mencari kerasukan zauk dengan cara menari, menyanyi, menjerit dan bertepuk tangan. Mereka mendakwa syeikh mereka berada dalam suasana yang mengatasi batasan hukum agama. Jelas sekali mereka terpesung jauh daripada perjalanan Nabi s.a.w yang dalam tindak tanduk mematuhi hukum agama.

Awliya'iyya - mendakwa mereka berada dalam kehampiran dengan Allah dan mengatakan bila hamba hampir dengan Tuhan semua kewajipan agama terangkat daripada mereka. Seterusnya mereka mendakwa seorang wali, orang yang hampir dengan Allah, menjadi sahabat akrab-Nya, mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada nabi. Mereka mengatakan ilmu sampai kepada Rasulullah s.a.w melalui Jibrail sementara wali menerima ilmu secara langsung dari Tuhan. Pandangan salah tentang suasana mereka dan apa yang mereka sifatkan kepada diri mereka adalah dosa mereka yang paling besar yang membawa mereka kepada bidaah dan kekufuran.

Syamuraniyya - percaya dunia ini kekal abadi, dan sesiapa yang mengucapkan perkataan abadi akan terlepas daripada tuntutan agama, lagi mereka tidak ada hukum halal dan haram. Mereka menggunakan alat musik dalam upacara ibadat mereka. Mereka tidak memisahkan lelaki dengan perempuan. Mereka tidak membezakan dua jantina itu. Mereka adalah kumpulan kafir yang tidak boleh diperbetulkan lagi.

Hubiyya - mengatakan bila manusia sampai ke peringkat cinta mereka bebas daripada semua kewajipan agama. Mereka tidak menutup kemaluan mereka.

Huriyya - seperti Haliyya, enggan menjerit, menyanyi, menari dan bertepuk tangan, mereka menjadi kerasukan dan di dalam suasana kerasukan itu mereka mendakwa mengadakan hubungan jenis dengan bidadari; bila keluar dari kerasukan mereka mandi junub. Mereka dimusnahkan oleh pembohongan mereka sendiri.

Ibahiyya - enggan mengajak kepada kebaikan dan melarang kemungkaran. Mereka menghukumkan haram sebagai halal. Mereka memahatkan pendapat ini kepada kaum perempuan. Bagi mereka semua perempuan halal bagi semua lelaki.

Mutakasiliyya - menjadikan prinsip kemalasan dan meminta sedekah dari rumah ke rumah sebagai cara mendapatkan keperluan harian mereka. Mereka mendakwa telah meninggalkan segala hal ehwal dunia. Mereka gagal dan terus gagal di dalam kemalasan mereka.

Mutajahiliyya - berpura-pura jahil dan dengan sengaja berpakaian tidak sopan, cuba menunjukkan dan berkelakuan seperti orang kafir, sedangkan Allah berfirman, "Jangan cenderung kepada yang berbuat dosa". (Surah Hud, ayat 113). Nabi s.a.w bersabda, "Sesiapa yang cuba berlagak seperti satu kaum dia dianggap salah seorang dari mereka".

Wafiqiyya - mendakwa hanya Allah yang boleh kenal Allah. Jadi, mereka membuang jalan kebenaran. Kejahilan yang disengajakan membawa mereka kepada kemusnahan.

Ilhamiyya - berpegang dan mengharapkan kepada ilham, meninggalkan ilmu pengetahuan, melarang belajar, dan berkata Quran adalah hijab bagi mereka, dan fikiran puisi adalah Quran mereka. Mereka meninggalkan Quran dan sembahyang, sebaliknya mengajarkan anak-anak mereka puisi.

Pemimpin-pemimpin dan guru-guru dari kumpulan Sunni mengatakan para sahabat, dengan berkat kehadiran Rasulullah s.a.w di tengah-tengah mereka, berada dalam suasana zauk dan keghairahan kerohanian yang sangat tinggi. Pada zaman kemudian peringkat kerohanian yang demikian tidak tercapai lagi oleh orang ramai dan ia menjadi semakin hilang. Yang masih tinggal diturunkan kepada pewaris-pewaris kerohanian pada jalan kebenaran Ilahi, yang kemudiannya terbahagi kepada banyak cabang-cabang. Ia berpecah kepada terlalu banyak kumpulan sehingga kebijaksanaan dan tenaganya menjadi sangat berkurangan dan berselerak. Dalam banyak kes segala yang tinggal hanyalah rupa yang dibaluti oleh pakaian guru kerohanian tanpa sebarang makna, kekuatan dan tenaga di bawah pakaian tersebut. Walaupun dalam suasana kosong itu ia masih juga berpecah dan berganda, bertukar menjadi bidaah. Sebahagian menjadi Qalandari - peminta sedekah yang mengembara. Yang lain menjadi Haydari dan berpura-pura menjadi wira. Yang lain pula menamakan diri mereka Adhami dan berpura-pura mengikuti wali Allah Ibrahim Adham yang meninggalkan takhta kerajaan dunia ini. Masih ramai lagi yang lain.

Dalam zaman kita mereka yang mengikuti jalan kebenaran sesuai dengan hukum agama menjadi semakin berkurangan. Pengikut-pengikut yang benar pada jalan ini boleh dikenali melalui dua kenyataan. Pertama, kenyataan zahir, yang menunjukkan keadaan kehidupan harian mereka yang dibentengi oleh hukum dan amalan agama. Kedua kenyataan dalaman, contoh teladan yang si pencari itu ikuti dan lahirkan dan dengan apa yang dia dibimbingkan. Sesungguhnya tiada yang lain untuk diikuti melainkan Nabi Muhamamd s.a.w, yang menjadi teladan, yang pada satu masa dahulu baginda sendiri berada dalam suasana mencari dan kebenaranlah yang baginda cari. Tanpa ragu-ragu roh suci baginda sahaja yang menjadi perantaraan. Itulah undang-undang yang mesti dipatuhi oleh orang yang beriman bagi penerusan kehidupan agama dalam kehidupan. Cara lain, wali yang memiliki pesaka kerohanian Nabi s.a.w boleh memberkati si pencari dengan kewujudan kebendaannya. Sesungguhnya syaitan tidak boleh mengambil rupa Nabi s.a.w.

Waspadalah wahai pengembara pada jalan kerohanian, orang buta tidak boleh memimpin orang buta. Perhatian kamu mesti bersungguh-sungguh agar kamu dapat membezakan kebaikan yang paling kecil daripada kejahatan yang paling kecil.

Thursday, November 12, 2009

Syeikh Abdul Qadir Al-Jilani

Sejarah ringkas Syeikh Abdul Qadir Jilani.

Nama beliau dan keturunan sebelah ayah.

Mahyuddin Abu Muhammad Abdul Qadir Al Jilani bin Abu Saleh Musa bin Abdullah bin Yahya Al Jahid bin Al Imam Muhammad bin Al Imam Daud bin Al Imam Musa bin Al Imam Abdullah bin Al Imam Musa Al Jaun bin Al Imam Abdullah Al Mohd (lebih dikenali sebagai Al Majl) bin Al Imam Hassan alMuthni bin Al Imam Al Hassan Al Bast bin Al Imam AmirulMukmin ‘Ali bin Abu Talib, KarramAllahu wajhah.

Keturunan dari sebelah ibunya

Nama ibunya Fatimah binti Al Imam Abdullah bin Mahmud bin Kamaludin Isa bin Jamaluddin bin Al Imam Abdullah Al Sauma’i (lebih dikenali Al Zahid) bin Sayyidina Ali Zainal ‘Abidin bin Al Imam Al Hussein bin Al Imam ‘Ali bin Abu Talib, saudara Al Mustafa(s.a.w.) yang berkahwin dengan Fatimah Az Zahra Al Batul.

Beliau mendapat penggilan Al Jalani daripada Jilan, sebuah wilayah merdeka dari Negara Tabristan juga dikenali sebagai Kilan.

Abdul Qadir dilahirkan disini pada tahun 470H dan beliau kembali kerahmatullah pada 671H pada malam Sabtu , 10 Rabi’awal pada umur 91 tahun. Beliau dimakamkan diserambi madrasahnya. Nasaruddin mengkebumikan beliau pada paginya sambil membacakan Qasidah yang berbunyi “ Kesedihan (merujuk kepada kematian) pada pagi ini merupakan kekalahan Jilani, dimana beliau merupakan sumber makrifah yang terkenal”

Penampilan Abdul Qadir.

Al Imam Muwafik Al Din Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah Al Muqaddisi berkata, “Shaykh Al Islam Al Shaykh Mahyuddin Abu Muhammad Abdul Qadir alJilani r.a. Merupakan seorang yang kurus dan tinggi dan berupa baik dengan bulu keningnya bercantum. Suara beliau nyaring dan beliau berpengetahuan luas.

Rumah yang dimana beliau dibesarkan dikenali sebagai Rumah Kemuliaan dan Pengetahuan. Ini kerana keturunan beliau dari ayah dan ibunya merupakan golongan yang berilmu dan berkedudukan. Penduduk setempat juga menggelarkan rumah tersebut rumah yang mulia.

Tidak salah jika Abd Qadir dibesarkan sejak kecil disitu dan menghafal Al Quran sejak kecil dan sehinggalah pada umur beliau 18 tahun, beliau mula merantau ke Baghdad pada tahun 488H. Pemergian beliau adalah untuk menambahkan ilmu beliau pada jalan Allah seperti yang difimankan Allah dlm surah Nisa ayat 100.

Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Abdul Qadir mengikut jejak langkah keturunannya yang juga dikenali sebagai keluarga Ilmuwan dan beiman demi mencapai cita-citanya menjadi seorang yang adil dan mulia disisi Allah dan Umat Islam.

Allah berfirman: Surah At Thur ayat 21:

Dan orang-oranng yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka[1426], dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.

Abdul Qadir merupakan seorang insane yang terpelihara oleh Allah. Ini dapat dibuktikan dari cerita masyarakat sekeliling. Semasa muda beliau berkerja sebagai petani. Pada suatu hari, semasa beliau sedang membajak tanah menggunakan seekor lembu, tiba-tiba lembut tersebut memalingkan mukanya kearah beliau dan berkata ”Oh Abdul Qadir, Allah tidak menciptakan kamu untuk kerja ini”

Dari sumber yang lain pula menyatakan, Abdul Qadir memanjat keatas atap rumahnya dan melihat fenomena luar biasa iaitu jemaah Haji berkumpul di Arafah, dan jemaah lagi satu pula sedang mengelilingi Ka’abah.

Kedua-dua kejadian itu membuatkan beliau berasa takut dan terkejut. Beliau memberitahu pada ibunya dan ibunya berkata “ Ini membuktikan bahawa Allah telah memilih mu untuk diberi pengetahuan”

Selepas kejadian tersebut Abdul Qadir berhasrat untuk ke Baghdad dengan tujuan untuk mendalami lagi ilmu pengetahuan dengan para-para Ulama disana. Ini kerana pada ketika itu Baghdad merupakan pusat Ilmu dunia.

Sebelum berangkat ke Baghdad, Abdul Qadir meminta kebenaran dari ibunya agar Allah sentiasa disampingnya dalam usahanya. Ibunya menjaminkan beliau akan keselamatan dengan syarat beliau hendaklah sentiasa bercakap benar dan tidak sesekali menipu.

Dan dalam perjalanan beliau ke Baghdad, sekumpulan perompak telah datang kepada beliau, dan menanyakan kepada beliau, berapa wang yang Abdul Qadir ada. Abdul Qadir menjawab dengan jujur seperti mana yang telah dinasihatkan oleh ibunya. Beliau menyatakan jumlah wang yang ada didalam poketnya. Akibat dari kejujurannya itu, perompak berkenaan berasa sedih dan bertaubat atas perbuatannya itu. Perompak itu bertanya pada Abdul Qadir, mengapa beliau berkata benar sedangkan beliau tahu akan dirompak. Lalu Abdul Qadir menceritakan halnya bersama ibunya yang beliau telah berjanji atas nama Allah pada ibunya yang beliau akan bercakap benar dan jujur. Perompak tersebut merasa hairan dan takjub atas kejujuran Abdul Qadir menjaga janjinya dengan usianya yang semuda itu, manakala perompak itu memikirkan hal dirinya yang telah sekian lama hidup merompak dan bercanggah dengan Islam.

Firman Allah Surah At Taubah ayat 119:

Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.

Abdul Qadir meneruskan perjalannannya dan sampai di Baghdad pada tahun 488H dan memulakan pengajian beliau dengan ulama-ulama dan orang-orang saleh.

Kesimpulannya

Syaikh Abdul Qadir Jilani dibesarkan dengan baik. Beliau merupaka seorang yang alim, jujur, ikhlas dan benar. Kesemua nilai-nilai ini menjadi simbol kepada Tareqat Qadariah yang terus menerus berkembang hasil usaha dari pengesasnya iaitu Syaikh Abdul Qadir Jilani dan tareqat ini berdasarkan pengalaman peribadi beliau tentang Islam, Iman, dan Ihsan. Ini akan mengajar kita tentang Ikhlas, Wara’ , Zuhud, Taqwa, penyerahan diri sendiri, ketabahan, kehambaan kepada Allah, mendekatkan diri kepada Allah dan menjauhkan diri dari syaitan, menghayati kitab syariah, membersihkan hati daripada perkara yang memusnahkannya, membersihkan kata-kata, sentiasa membuat suruhan Allah atas sebab untuk mencari keredhaannya, bersungguh-sungguh dalam menentang kehendak nafsu, dan mengamalkan perbuatan yang mulia.

Kesemua cara ini disuruh oleh Abdul Qadir, dimana beliau adalah pendokong jalan Tasawuf yang bermakna juga beliau merupakan seorang pengajar. Didalam kitabnya, Abdul Qadir menggunakan perubahan dalam menyampaikan perbezaan hamba dan kehendak nafsu.

Rabia’atul-Adawiyyah

Ibubapa Rabia’atul-Adawiyyah adalah orang miskin. Hinggakan dalam rumah mereka tidak ada minyak untuk memasang lampu dan tidak ada kain untuk membalut badan beliau. Beliau ialah anak yang keempat. Ibunya menyuruh ayahnya meminjam minyak dari jiran. tetapi bapa beliau telah membuat keputusan tidak akan meminta kepada sesiapa kecuali kepada Allah. Bapa itu pun pergilah berpura-pura ke rumah jiran dan perlahan-lahan mengetuk pintu rumah itu agar tidak didengar oleh orang dalam rumah itu. Kemudian dia pun pulang dengan tangan kosong. Katanya orang dalam rumah itu tidak mahu membuka pintu. Pada malam itu si bapa bermimpi yang ia bertemu dengan Nabi. Nabi berkata kepadanya, “Anak perempuanmu yang baru lahir itu adalah seorang yang dikasihi Allah dan akan memimpin banyak orang Islam ke jalan yang benar. Kamu hendaklah pergi berjumpa Amir Basrah dan beri dia sepucuk surat yang bertulis - kamu hendaklah berselawat kepada Nabi seratus kali tiap-tiap malam dan empat ratus kali tiap-tiap malam Jumaat. Tetapi oleh kerana kamu tidak mematuhi peraturan pada hari Khamis sudah, maka sebagai dendanya kamu hendaklah membayar kepada pembawa surat ini empat ratus dinar.”

Bapa Rabi’atul-Adawiyyah pun terus terjaga dari tidur dan pergi berjumpa dengan Amir tersebut, dengan air mata kesukaan mengalir di pipinya. Amir sungguh berasa gembira membaca surat itu dan faham bahawa beliau ada dalam perhatian Nabi. Amir pun memberi sedekah kepada fakir miskin sebanyak seribu dinar dan dengan gembira memberi bapa Rabi’atul-Adawiyyah sebanyak empat ratus dinar. Amir itu meminta supaya bapa Rabi’atul-adawiyyah selalu mengunjungi beliau apabila hendakkan sesuatu kerana beliau sungguh berasa bertuah dengan kedatangan orang yang hampir dengan Allah. Selepas bapanya meninggal dunia, Basrah dilanda oleh kebuluran. Rabi’atuladawiyyah berpisah dari adik-beradiknya. Suatu ketika kafilah yang beliau tumpangi itu telah diserang oleh penyamun. Ketua penyamun itu menangkap Rabi’atul-Adawiyyah untuk dijadikan barang rampasan untuk dijual ke pasar sebagai abdi. Maka lepaslah ia ke tangan tuan yang baru. Suatu hari, tatkala beliau pergi ke satu tempat atas suruhan tuannya, beliau telah dikejar oleh orang jahat. Beliau lari. Tetapi malang, kakinya tergelincir dan jatuh. Tangannya patah. Beliau berdoa kepada Allah, “Ya Allah! Aku ini orang yatim dan abdi. Sekarang tanganku pula patah. tetapi aku tidak peduli segala itu asalkan Kau redho denganku. tetapi nyatakanlah keridhoanMu itu padaku.” Tatkala itu terdengarlah suatu suara, “Tak mengapa semua penderitaanmu itu. Di hari akhirat kelak kamu akan ditempatkan di peringkat yang tinggi hinggakan Malaikat pun kehairanan melihatmu.” Kemudian pergilah ia semula kepada tuannya. Selepas peristiwa itu, tiap-tiap malam ia menghabiskan masa dengan beribadat kepada Allah, selepas melakukan kerja-kerjanya. Beliau berpuasa berhari-hari. Suatu hari, tuannya terdengar suara rayuan Rabi’atul-Adawiyyah di tengah malam yang berdoa kepada Allah; “Tuhanku! Engkau lebih tahu bagaimana aku cenderung benar hendak melakukan perintah-perintahMu dan menghambakan diriku dengan sepenuh jiwa, wahai cahaya mataku. Jikalau aku bebas, aku habiskan seluruh masa malam dan siang dengan melakukan ibadat kepadaMu. tetapi apa yang boleh aku buat kerana Kau jadikan aku hamba kepada manusia.” Dilihat oleh tuannya itu suatu pelita yang bercahaya terang tergantung di awing-awangan,dalam bilik Rabi’atul-Adawiyyah itu, dan cahaya itu meliputi seluruh biliknya. Sebentar itu juga tuannya berasa adalah berdosa jika tidak membebaskan orang yang begitu hampir dengan Tuhannya. sebaliknya tuan itu pula ingin menjadi khadam kepada Rabi’atul-adawiyyah.

Esoknya, Rabi’atul-Adawiyyah pun dipanggil oleh tuannya dan diberitahunya tentang keputusannya hendak menjadi khadam itu dan Rabi’atul-adawiyyah bolehlah menjadi tuan rumah atau pun jika ia tidak sudi bolehlah ia meninggalkan rumah itu. Rabi’atul-Adawiyyah berkata bahawa ia ingin mengasingkan dirinya dan meninggalkan rumah itu. Tuannya bersetuju. Rabi’atul-Adawiyyah pun pergi. Suatu masa Rabi’atul-Adawiyyah pergi naik haji ke Mekkah. Dibawanya barangbarangnya atas seekor keldai yang telah tua. Keldai itu mati di tengah jalan. Rakan-rakannya bersetuju hendak membawa barang -barangnya itu tetapi beliau enggan kerana katanya dia naik haji bukan di bawah perlindungan sesiapa. Hanya perlindungan Allah S.W.T. Beliau pun tinggal seorang diri di situ. Rabi’atul- Adawiyyah terus berdoa, “Oh Tuhan sekalian alam, aku ini keseorangan, lemah dan tidak berdaya. Engkau juga yang menyuruhku pergi mengunjungi Ka’abah dan sekarang Engkau matikan keldaiku dan membiarkan aku keseorangan di tengah jalan.” Serta-merta dengan tidak disangka-sangka keldai itu pun hidup semula.

Diletaknya barang-barangnya di atas keldai itu dan terus menuju Mekkah. Apabila hampir ke Ka’abah, beliau pun duduk dan berdoa, “Aku ini hanya sekepal tanah dan Ka’abah itu rumah yang kuat. Maksudku ialah Engkau temui aku sebarang perantaraan.” Terdengar suara berkata, “Rabi’atul-Adawiyyah, patutkah Aku tunggangbalikkan dunia ini kerana mu agar darah semua makhluk ini direkodkan dalam namamu dalam suratan takdir? Tidakkah kamu tahu Nabi Musa pun ada hendak melihatKu? Aku sinarkan cahayaKu sedikit sahaja dan dia jatuh pengsan dan Gunung Sinai runtuh menjadi tanah hitam.” Suatu ketika yang lain, semasa Rabi’atul-Adawiyyah menuju Ka’abah dan sedang melalui hutan, dilihatnya Ka’abah datang mempelawanya. Melihatkan itu, beliau berkata, “Apa hendakku buat dengan Ka’abah ini; aku hendak bertemu dengan tuan Ka’abah (Allah) itu sendiri. Bukankah Allah juga berfirman iaitu orang yang selangkah menuju Dia, maka Dia akan menuju orang itu dengan tujuh langkah? Aku tidak mahu hanya melihat Ka’abah, aku mahu Allah.” Pada masa itu juga, Ibrahim Adham sedang dalam perjalanan ke Ka’abah. Sudah menjadi amalan beliau mengerjakan sembahyang pada setiap langkah dalam perjalanan itu. Maka oleh itu, beliau mengambil masa empat belas tahun baru sampai ke Ka’bah. Apabila sampai didapatinya Ka’abah tidak ada. Beliau sangat merasa hampa. Terdengar olehnya satu suara yang berkata, “Ka’abah itu telah pergi melawat Rabi’atul -Adawiyyah.” Apabila Ka’bah itu telah kembali ke tempatnya dan Rabi’atul-Adawiyyah sedang menongkat badannya yang tua itu kepada kepada tongkatnya, maka Ibrahim Adham pun pergi bertemu dengan Rabi’atul-Adawiyyah dan berkata; “Rabi’atul-adawiyyah, kenapa kamu dengan perbuatanmu yang yang ganjil itu membuat haru-biru di dunia ini?” Rabi’atul-Adawiyyah menjawab; “Saya tidak membuat satu apa pun sedemikian itu, tetapi kamu dengan sikap ria (untul mendapat publisiti) pergi ke Ka’abah mengambil masa empat belas tahun.” Ibrahim mengaku yang ia sembahyang setiap langkah dalam perjalanannya. Rabi’atul-Adawiyyah berkata, “Kamu isi perjalananmu itu dengan sembahyang, tetapi aku mengisinya dengan perasaan tawaduk dan khusyuk.” Tahun kemudiannya, lagi sekali Rabi’atul-Adawiyyah pergi ke Ka’abah.

Beliau berdoa; “Oh Tuhan! Perlihatkanlah diriMu padaku.” Beliau pun berguling-guling di atas tanah dalam perjalanan itu. Terdengar suara; “Rabi’atul-Adawiyyah, hati-hatilah, jika Aku perlihatkan diriKu kepadamu, kamu akan jadi abu.” Rabi’atul-Adawiyyah menjawab, “Aku tidak berdaya memandang Keagungan dan KebesaranMu, kurniakanlah kepadaku kefakiran (zahid) yang mulia di sisiMu.” Terdengar lagi suara berkata, “Kamu tidak sesuai dengan itu. Kemuliaan seperti itu dikhaskan untuk lelaki yang memfanakan diri mereka semasa hidup mereka kerana Aku dan antara mereka dan Aku tidak ada regang walau sebesar rambut pun, Aku bawa orang-orang demikian sangat hampir kepadaKu dan kemudian Aku jauhkan mereka, apabila mereka berusaha untuk mencapai Aku. Rabi’atuladawiyyah, antara kamu dan Aku ada lagi tujuh puluh hijab atau tirai. Hijab ini mestilah dibuang dulu dan kemudian dengan hati yang suci berhadaplah kepadaKu. Sia-sia sahaja kamu meminta pangkat fakir dari Aku.” Kemudian suara itu menyuruh Rabi’atul-Adawiyyah melihat ke hadapan. Dilihatnya semua pandangan telah berubah. Dilihatnya perkara yang luar biasa. Di awang-awangan ternampak lautan darah yang berombak kencang.

Terdengar suara lagi, “Rabi’atul-Adawiyyah, inilah darah yang mengalir dari mata mereka yang mencintai Kami (Tuhan) dan tidak mahu berpisah dengan Kami. Meskipun mereka dicuba dan diduga, namun mereka tidak berganjak seinci pun dari jalan Kami dan tidak pula meminta sesuatu dari Kami. Dalam langkah permulaan dalam perjalanan itu, mereka mengatasi semua nafsu dan cita-cita yang berkaitan dengan dunia dan akhirat. Mereka beruzlah (memencilkan diri) dari dunia hingga tidak ada sesiapa yang mengetahui mereka. Begitulah mereka itu tidak mahu publisiti (disebarkan kepada umum) dalam dunia ini.” Mendengar itu, Rabi’atul-Adawiyyah berkata, “Tuhanku! Biarkan aku tinggal di Ka’abah.” Ini pun tidak diberi kepada beliau.

Beliau dibenarkan kembali ke Basrah dan menghabiskan umurnya di situ dengan sembahyang dan memencilkan diri dari orang ramai. Suatu hari Rabi’atul-Adawiyyah sedang duduk di rumahnya menunggu ketibaan seorang darwisy untuk makan bersamanya dengan maksud untuk melayan darwisy itu, Rabi’atul-Adawiyyah meletakkan dua buku roti yang dibuatnya itu di hadapan darwisy itu. Darwisy itu terkejut kerana tidak ada lagi makanan untuk Rabi’atul-Adawiyyah. Tidak lama kemudian, dilihatnya seorang perempuan membawa sehidang roti dan memberinya kepada Rabi’atul-Adawiyyah menyatakan tuannya menyuruh dia membawa roti itu kepada Rabi’atul- Adawiyyah. Rabi’atul-Adawiyyah bertanya berapa ketul roti yang dibawanya itu. Perempuan itu menjawab, “Lapan belas.” Rabi’atul-Adawiyyah tidak mahu menerima roti itu dan disuruhnya kembalikan kepada tuannya. Perempuan itu pergi. Kemudian datang semula. Rabi’atul-Adawiyyah menerima roti itu selepas diberitahu bahawa ada dua puluh ketul roti dibawa perempuan itu. Darwisy itu bertanya kenapa Rabi’atul-Adawiyyah enggan menerima dan kemudian menerima pula. Rabi’atul-Adawiyyah menjawab, “Allah berfirman dalam Al-Quran iaitu : “Orang yang memberi dengan nama Allah maka Dia akan beri ganjaran sepuluh kali ganda. Oleh itu, saya terima hadiah apabila suruhan dalam Al-Quran itu dilaksanakan.” Suatu hari Rabi’atul-Adawiyyah sedang menyediakan makanan. Beliau teringat yang beliau tidak ada sayur. Tiba-tiba jatuh bawang dari bumbung. Disepaknya bawang itu sambil berkata, “Syaitan! Pergi jahanam dengan tipu-helahmu. Adakah Allah mempunyai kedai bawang?” Rabi’atul-Adawiyyah berkata, “Aku tidak pernah meminta dari sesiapa kecuali dari Allah dan aku tidak terima sesuatu melainkan dari Allah.” Suatu hari, Hassan Al-Basri melihat Rabi’atul-Adawiyyah dikelilingi oleh binatang liar yang memandangnya dengan kasih sayang. Bila Hassan Al-Basri pergi menujunya, binatang itu lari. Hassan bertanya, “Kenapa binatang itu lari?” Sebagai jawapan, Rabi’atul-adawiyyah bertanya, “Apa kamu makan hari ini?” Hassan menjawab, “Daging.” Rabi’atul- Adawiyyah berkata, Oleh kerana kamu makan daging, mereka pun lari, aku hanya memakan roti kering.” Suatu hari Rabi’atul-Adawiyyah pergi berjumpa Hassan Al-Basri.

Beliau sedang menangis terisak-isak kerana bercerai (lupa) kepada Allah. Oleh kerana hebatnya tangisan beliau itu, hingga air matanya mengalir dilongkang rumahnya. Melihatkan itu, Rabi’atul-Adawiyyah berkata, “Janganlah tunjukkan perasaan sedemikian ini supaya batinmu penuh dengan cinta Allah dan hatimu tenggelam dalamnya dan kamu tidak akan mendapati di mana tempatnya.” Dengan penuh kehendak untuk mendapat publisiti, suatu hari, Hassan yang sedang melihat Rabi’atul-Adawiyyah dalam satu perhimpunan Aulia’ Allah, terus pergi bertemu dengan Rabi’atul-Adawiyyah dan berkata, “Rabi’atul-adawiyyah, marilah kita meninggalkan perhimpunan ini dan marilah kita duduk di atas air tasik sana dan berbincang hal-hal keruhanian di sana.” Beliau berkata dengan niat hendak menunjukkan keramatnya kepada orang lain yang ia dapat menguasai air (seperti Nabi Isa a.s. boleh berjalan di atas air). Rabi’atul-Adawiyyah berkata, “Hassan, buangkanlah perkara yang sia-sia itu. Jika kamu hendak benar memisahkan diri dari perhimpunan Aulia’ Allah, maka kenapa kita tidak terbang sahaja dan berbincang di udara?” Rabi’atul-adawiyyah berkata bergini kerana beliau ada kuasa berbuat demikian tetapi Hassan tidak ada berkuasa seperti itu. Hassan meminta maaf. Rabi’atul-Adawiyyah berkata, “Ketahuilah bahawa apa yang kamu boleh buat, ikan pun boleh buat dan jika aku boleh terbang, lalat pun boleh terbang. Buatlah suatu yang lebih dari perkara yang luarbiasa itu. Carilah ianya dalam ketaatan dan sopan-santun terhadap Allah.” Seorang hamba Allah bertanya kepada Rabi’atul-Adawiyyah tentang perkara kahwin.

Beliau menjawab, “Orang yang berkahwin itu ialah orang yang ada dirinya. Tetapi aku bukan menguasai badan dan nyawaku sendiri. Aku ini kepunyaan Tuhanku. Pintalah kepada Allah jika mahu mengahwini aku.” Hassan Al-Basri bertanya kepada Rabi’atul-Adawiyyah bagaiman beliau mencapai taraf keruhanian yang tinggi itu. Rabi’atul-adawiyyah menjawab, “Aku hilang (fana) dalam mengenang Allah.” Beliau ditanya, “Dari mana kamu datang?” Rabi’atul-Adawiyyah menjawab, “Aku datang dari Allah dan kembali kepada Allah.” Rabi’atul-Adawiyyah pernah bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad S.A.W. Dan baginda bertanya kepadanya sama ada beliau pernah mengingatnya sebagai sahabat. Rabi’atul-Adawiyyah menjawab, “Siapa yang tidak kenal kepada tuan? Tetapi apakan dayaku. Cinta kepada Allah telah memenuhi seluruhku, hinggakan tidak ada ruang untuk cinta kepadamu atau benci kepada syaitan.” Orang bertanya kepada Rabi’atul-adawiyyah, “Adakah kamu lihat Tuhan yang kamu sembah itu? Rabi’atul-Adawiyyah menjawab, “Jika aku tidak lihat Dia, aku tidak akan menyembahNya.” Rabi’atul-Adawiyyah sentiasa menangis kerana Allah. Orang bertanya kepadanya sebab beliau menangis. Rabi’atul-Adawiyyah menjawab, “Aku takit berpisah walau sedetik pun dengan Tuhan dan tidak boleh hidup tanpa Dia.

Aku takut Tuhan akan berkata kepadaku tatkala menghembuskan nafas terakhir - jauhkan dia dariKu kerana dia tidak layak berada di majlisKu.” Allah suka dengan hambaNya yang bersyukur apabila ia berusaha sepertimana ia bersyukur tatkala menerima kurniaNya (iaitu ia menyedari yang ia tidak sanggup berusaha untuk Allah tanpa pertolongan dan kurniaan Allah). Seorang bertanya kepada Rabi’atul-Adawiyyah, “Adakah Allah menerima taubat orang yang membuat dosa?” Rabi’atul-Adawiyyah menjawab, “Itu hanya apabila Allah Mengurniakan kuasaNya kepada pembuat dosa itu yang ia digesa untuk mengakui dosanya dan ingin bertaubat. Hanya dengan itu Allah akan menerima taubatnya kerana dosa yang telah dilakukannya.” Sholeh Al-Qazwini selalu mengajar muridnya, “Siapa yang selalu mengetuk pintu rumah seseorang akhirnya satu hari pintu itu pasti akan dibuka untuknya.” Satu hari Rabi’atul-Adawiyyah mendengar beliau bercakap demikian.

Rabi’atuladawiyyah pun berkata kepada Sholeh, “Berapa lama kamu hendak berkata demikian menggunakan perkataan untuk masa depan (Futuretense) iaitu “Akan dibuka”? Adakah pintu itu pernah ditutup? Pintu itu sentiasa terbuka.” Sholeh mengakui kebenarannya itu. Seorang hamba Allah berteriak, “Aduh sakitnya!” Rabi’atul-Adawiyyah bertemu dengan orang itu dan berkata, “Oh! bukannya sakit.” Orang itu bertanya kenapa beliau berkata begitu. Rabi’atul-Adawiyyah menjawab, “Kerana sakit itu adalah satu nikmat bagi orang yang sangat mulia di sisi Allah. Mereka merasa seronok menanggung sakit itu.” Suatu hari rabi’atul-adawiyyah sedang melihat orang sedang berjalan dengan kepalanya berbalut. Beliau bertanya kenapa kepalanya dibalut. Orang itu menjawab mengatakan ia sakit kepala. Rabi’atul-Adawiyyah bertanya, “Berapa umurmu?” Jawab orang itu, “Tiga puluh.” Rabi’atul-Adawiyyah bertanya lagi, “Hingga hari ini begaimana keadaanmu?” Kata orang itu, “Sihat-sihat sahaja.” Rabi’atul-Adawiyyah pula berkata, “Selama tiga puluh tahun Allah menyihatkan kamu, tetapi kamu tidak mengibarkan bendera pada badanmu untuk menunjukkan kesyukuran kepada Allah, dan agar manusia bertanya kenapa kamu gembira sekali dan setelah mengetahui kurniaan Tuhan kepadamu, mereka akan memuji Allah. Sebaliknya kamu, setelah mendapat sakit sedikit, membalut kepalamu dan pergi ke sana ke mari menunjukkan sakitmu dan kekasaran Tuhan terhadapmu. Kenapa kamu berlaku sehina itu!” Suatu hari khadamnya berkata, “Puan, keluarlah dan mari kita melihat keindahan kejadian Tuhan di musim bunga ini.’ Rabi’atul-Adawiyyah menjawab, “Duduklah dalam rumah seperti aku berseorangan dan melihat yang menjadikan.

Aku lihat Dia dan bukan kejadianNya.” Suatu hari, orang bertanya kepada Rabi’atul-Adawiyyah kenapa beliau tidak menyimpan pisau dalam rumahnya. Beliau menjawab, “Memotong itu adalah kerja pisau. Aku takut pisau itu akan memotong pertalian aku dengan Allah yang ku cintai.” Suatu masa Rabi’atul-Adawiyyah berpuasa selama lapan hari. Pada hari terakhir, beliau merasa lapar sedikit. Datang seorang hamba Allah membawa minuman yang manis dalam sebuah cawan. Rabi’atul-Adawiyyah ambil minuman itu dan meletakkannya di atas lantai di satu penjuru rumahnya itu. Beliau pun pergi hendak memasang lampu. Datang seekor kucing lalu menumpahkan minuman dalam cawan itu. Melihat itu, terfikirlah Rabi’atul-Adawiyyah hendak minum air sahaja malam itu. Tatkala ia hendak mencari bekas air (tempayan), lampu pun padam. Bekas air itu jatuh dan pecah airnya bertaburan di atas lantai. Rabi’atul-adawiyyah pun mengeluh sambil berkata, “Tuhanku! Kenapa Kau lakukan begini kepadaku?” Terdengar suara berkata, “Rabi’atul-Adawiyyah, jika kamu hendakkan kurnia dunia, Aku boleh berikan padamu, tetapi akan menarik balik darimu siksaan dan kesakitan yang Aku beri padamu. Kurnia dunia dan siksaan

Aku tidak boleh duduk bersama-sama dalam satu hati. Rabi’atul-Adawiyyah, kamu hendak satu satu perkara dan Aku hendak satu perkara lain. Dua kehendak yang berlainan tidak boleh duduk bersama dalam satu hati.” Dengan serta-merta beliau pun membuangkan kehendak kepada keperluan hidup ini, seperti orang yang telah tidak berkehendakkan lagi perkara-perkara dunia ini semasa nyawa hendak bercerai dengan badan. Tiap-tiap pagi beliau berdoa, “Tuhan! Penuhilah masaku dengan menyembah dan mengingatMu agar orang lain tidak mengajakku dengan kerja-kerja lain.” Rabi’atul-Adawiyyah ditanya, “Kenapa kamu sentiasa menangis-nangis?” Beliau menjawab, “Kerana ubat penyakit ini ialah berdampingan dengan Tuhan.” “Kenapa kamu memakai pakainan koyak dan kotor?” Beliau ditanya lagi, “Kamu ada kawan yang kaya, dan dia boleh memberimu pakaian baru.” Rabi’atul- Adawiyyah menjawab, “Aku berasa malu meminta perkara dunia dari sesiapa pun yang bukan milik mereka kerana perkara-perkara itu adalah amanah Allah kepada mereka dan Allah jua yang memiliki segala- galanya.” Orang berkata, “Rabi’atul-Adawiyyah, Tuhan mengurniakan ilmu dan kenabian kepada lelaki, dan tidak pernah kepada perempuan, tentu kamu tidak dapat mencapai pangkat kewalian yang tinggi itu (kerana perempuan). Oleh itu apakah faedahnya usaha kamu menuju ke taraf tersebut?” Rabi’atul-Adawiyyah menjawab, “Apa yang kamu kata itu benar, tetapi cubalah ketakan kepadaku siapakah perempuannya yang telah mencapai taraf kehampiran dengan Allah dan lalu berkata, “Akulah Yang Hak”. Di samping itu tidak ada orang “kasi” yang perempuan. Hanya didapati dalam kaum lelaki sahaja.” Rabi’atul-Adawiyyah berkata, “Seorang perempuan yang sentiasa bersembahyang kerana Allah adalah lelaki dan bukan perempuan.” Satu hari Rabi’atul-Adawiyyah jatuh sakit. Orang bertanya kepadanya sebab ia sakit. Beliau berkata, “Hatiku cenderung hendak mencapai Syurga, satu hari yang lampau. Kerana itu, Allah jatuhkan sakit ini sementara sebagai hukuman.” Hassan Al-Basri datang berjumpa Rabi’atul-Adawiyyah yang sedang sakit. Di pintu rumah beliau itu, Hassan bertemu dengan Amir Al-Basri yang sedang duduk dengan sebuah beg mengandungi wang. Amir itu menangis. Apabila ditanya kenapa beliau menangis, beliau menjawab, “Aku hendak menghadiahkan wang kepada Rabi’atul-Adawiyyah, tetapi aku tahu dia tidak akan menerimanya. Kerana itulah aku menangis. Bolehkah kamu menjadi pengantara dan meminta dia menerima hadiahku ini?” Hassan pun pergilah membawa wang itu kepada Rabi’atul-Adawiyyah dan meminta beliau menerima wang itu. Tetapi Rabi’atul- Adawiyyah berkata, “Oleh kerana aku telah kenal Allah, maka aku tidak lagi mahu bersembang dengan manusia dan tidak menerima hadiah dari mereka dan juga tidak mahu memberi apa-apa kepada mereka.

Di samping itu aku tidak mahu sama ada wang itu didapatinya secara halal atau haram.” Sufyan Al-Thauri berkata, “Kenapa kamu tidak memohon kepada Allah untuk menyembuhkan kamu?” Rabi’atul-Adawiyyah menjawab, “Kenapa aku merungut pula kerana itu hadiah Allah bagiku. Bukankah salah jika tidak mahu menerima hadiah Tuhan? Adakah bersahabat namanya jika kehendak sahabat itu tidak kita turuti?” Malik bin Dinar pergi mengunjungi Rabi’atul-adawiyyah satu hari. Dilihatnya dalam rumah Rabi’atul-Adawiyyah satu balang yang pecah dan mengandungi air untuk minum dan mengambil wuduk, satu bata sebagai bantal dan tikar yang buruk sebagai alas tempat tidur. Malik berkata, “Jika kamu izinkan, boleh aku suruh seorang kawanku yang kaya memberimu semua keperluan harian.” Rabi’atul-Adawiyyah menjawab; “Adakah satu Tuhan yang menanggung aku, dan Tuhan lain pula menanggung kawanmu itu? Jika tidak, adakah Tuhan lupa kepadaku kerana aku miskin dan ingat kepada kawanmu itu kerana ia kaya?

Sebenarnya Allah itu tidak lupa kepada siapa pun. Kita tidak perlu memberi ingat kepada Tuhan itu. Dia lebih mengetahui apa yang baik untuk kita. Dia yang memberi kurnia dan Dia juga yang menahan kurnia itu.” Rabi’atul-Adawiyyah berkata, “Orang yang cinta kepada Allah itu hilang dalam melihat Allah hingga kesedaran kepada yang lain lenyap darinya dan Dia tidak boleh membezakan mana sakit dan mana senang.” Seorang Wali Allah datang dan merungut tentang dunia. Rabi’atul-Adawiyyah berkata, “Nampaknya kamu sangat cinta kepada dunia, kerana orang yang bercakap tentang sesuatu perkara itu tentulah dia cenderung kepada perkara tersebut.” Satu hari, Sufyan Al-Thauri pergi berjumpa Rabi’atul-adawiyyah. Rabi’atul- Adawiyyah menghabiskan masa malam itu dengan sembahyang.

Apabila sampai pagi, beliau berkata, “Pujian bagi Allah yang telah memberkati kita dapat sembahyang sepanjang malam. Untuk tanda kesyukuran, marilah kita puasa pula sepanjang hari ini.” Rabi’atul-Adawiyyah selalu berdoa demikian, “Tuhanku! Apa sahaja yang Engkau hendak kurnia kepadaku berkenaan dunia, berikanlah kepada musuhku dan apa sahaja kebaikan yang Engkau hendak kurnia kepadaku berkenaan akhirat, berikanlah kepada orang-orang yang berIman, kerana aku hanya hendakkan Engkau kerana Engkau. Biarlah aku tidak dapat Syurga atau Neraka. Aku hendak pandangan Engkau padaku sahaja.” Sufyan Al -Thauri menghabiskan masa sepanjang malam bercakap-cakap tentang ibadat kepada Allah dengan Rabi’atul-Adawiyyah. Di pagi hari Al-Thauri berkata, “Kita telah menghabiskan masa malam tadi dengan sebaik-baiknya.” Rabi’atul-Adawiyyah berkata, “Tidak, kita habiskan masa dengan sia-sia kerana sepanjang percakapan itu kamu berkata perkara-perkara yang memuaskan hatiku sahaja dan aku pula memikirkan perkara yang kamu sukai pula. Masa itu kita buang tanpa mengenang Allah. Adalah lebih baik jika aku duduk seorang diri dan menghabiskan masa malam itu dengan mengenang Allah.” Rabi’atul-Adawiyyah berkata; “Doaku padaMu ialah sepanjang hayatku berilah aku dapat mengingatMu dan apabila mati kelak berilah aku dapat memandangMu.”

Buatmu Hawa..

Seindah hiasan Adalah Wanita Solehah... ("v")

seindah hiasan adalah wanita solehah
Wanita solehah itu aurat dijaga,
Pergaulan dipagari,
Sifat malu pengikat diri,
Seindah hiasan di dunia ini,
Keayuan wanita solehah itu…


Tidak terletak pada kecantikan wajahnya,
Kemanisan wanita solehah…
Tidak terletak pada kemanjaannya,
Daya penarik wanita solehah itu…
Bukan pada kemanisan bicaranya yang menggoncang iman para muslimin…
Dan bukan pula terletak pada kebijaksanaannya bermain lidah…
Memujuk rayu…
Bukan dan tidak sama sekali,

Kepetahan wanita solehah…
Bukan pada barang kemas atau perihal orang lain…
Tapi pada perjuangannya meningkatkan martabat agama,

NAFSU mengatakan wanita cantik dengan paras rupa yang indah bak permata yang menyeri alam…

AKAL mengatakan wanita cantik atas kemajuan dan kekebalannya dalam ilmu serta pandangan dari segala aspek…

Hati menyatakan kecantikan wanita hanya pada akhlaknya,
Itupun seandainya hati itu bersih untuk dinilai,

Wahai wanita… jangan dibangga dengan kecantikan luaran,
Kerana satu hari nanti ianya akan lapuk ditelan zaman,
Tetapi jaga dan peliharalah kecantikan dalaman,
Agar diri kita bersih dan sentiasa mendapat rahmat Ilahi,

Wahai wanita… jangan dibanggakan dengan ilmu duniawi yang kau kuasai,
Kerana ada lagi manusia yang lebih berpengetahuan darimu,

Wahai wanita… jangan pula berdukacita atas kekurangan dirimu,
Kerana ada lagi insan yang lebih malang darimu,

Wahai wanita solehah… jangan dirisau akan jodohmu,
Kerana muslimin yang bijaksana itu tidak akan terpaut pada wanita hanya kerana kecantikannya parasnya,
Bersyukurlah atas apa yg ada…
Serta berusaha demi keluarga, bangsa, dan agama,
Salam perjuangan untuk sahabatku…

-WANITA SOLEHAH-
"Wanita hiasan dunia… Seindah hiasan adalah wanita solehah"

Wednesday, November 11, 2009

Rahsia Syariat


Rahsia Syariat Dan Nama Ilahi

Yang Memiliki Keagungan menuntut keagungan daripada Yang Memiliki Keagungan.
Lalu Yang Memiliki Keagungan enggan menyaksikan selain keagungan.

Apabila dia menyaksikan kewujudan keperkasaan Allah,
hamba Allah bermain mata.

Dia sejahtera dengan dirinya
bangga, sombong, meninggi diri, bongkak.

Dia beritahunya tentang Syariat yang dipelihara
lalu kuasanya menghinanya sungguh-sungguh.

Hamba menjerit dengan kehilangan dan kehinaan,
"Wahai Engkau yang keagungan-Mu dimuliakan dan ditinggikan!"


[Nama-nama Ilahi adalah bahasa bagi suasana yang sesuai dengan hakikat-hakikat]

Allah berfirman,
"Katakanlah: Sekiranya di bumi ini kedapatan malaikat berjalan dengan aman. Kami tentunya akan utuskan daripada langit kepada mereka malaikat juga yang menjadi Utusan" (17:95)
dan Dia berfirman,
"Kami tidak datangkan hukuman sehinggalah Kami hantarkan Utusan" (17:15).

Ketahuilah bahawa Nama-nama Ilahi mempunyai lidah hal yang sesuai dengan hakikat-hakikat mereka. Penuhilah diri kamu dengan apa yang kamu dengar dan jangan khayalkan yang berbilang-bilang atau perkumpulan yang bebas bertindak sendiri. Dalam tajuk ini banyak daripada hakikat-hakikat yang mampu difikirkan akan disusun menurut hubungan itu, bukan menurut sumber kewujudan. Zat Allah adalah Esa sebagaimana keadaan zat. Daripada pandangan itu kewujudan kita, keperluan dan kemungkinan, kita ketahui bahawa kita mesti ada sesuatu yang harus yang boleh kita pegangi. Dasar yang daripadanya kewujudan kita tuntuti mesti ada beberapa asbab. Nabi memanggil mereka Wahai Nama-nama Yang Paling Indah. Dia memanggil diri-Nya "Berkata-kata" melalui mereka oleh kerana Dia berkata-kata dalam darjat kewujudan bagi Wujud ketuhanan-Nya yang tidak boleh dikongsikan. Sesungguhnya Dia adalah Tuhan yang Esa. Tiada Tuhan kecuali Dia.


[Pertemuan Nama-nama dalam hadrat Yang Dinamai dan kenyataan keputusan mereka]

Selepas kepastiannya pada permulaan perkara ini dan keutamaan dan penguasaan dalam alam yang mungkin ini, saya katakan bahawa nama-nama dikumpulkan bersama dalam hadrat (kehadiran) yang di Namai. Mereka menyaksikan hakikat-hakikat mereka dan maksudnya dan memintakan kenyataan bagi keputusan mereka agar sumber mereka akan terpisah daripada kesannya. Pencipta adalah Dia Yang Menentukan, Yang Mengetahui, Yang Mentadbir, Yang Membezakan, Yang Membentuk, Yang Memulakan, Yang Mengulangi, Dia yang mengadakan kematian, Yang Mewarisi, Yang Bersyukur. Semua nama-nama Ilahi memandang kepada zat mereka, tetapi tidak melihat apa yang sudah diciptakan, diuruskan, dibezakan atau dibekalkan. Mereka berkata, "Bagaimana ada tindakan kecuali sumber-sumber ini dinyatakan yang dalamnya keputusan kami muncul lalu penguasaan kami menyata?"

Jadi selepas kemunculan sumber bagi alam, Nama-nama Ilahi yang sebahagian daripada hakikat alam tuntutkan mencari perlindungan Nama, al-Bari (Permulaan). Mereka berkata kepada-Nya, "Bolehkah Engkau bawakan kepada kewujudan sumber-sumber ini agar menyata keputusan kami dan penguasaan kami didirikan kerana kehadiran yang kami berada di dalamnya tidak menerima kesan kami?" Al-Bari berkata, "Itu mesti dirujukkan kepada Nama, Yang Berkuasa. Aku di bawah kuasa-Nya".


[Yang harus dalam suasana mereka yang tidak wujud dan bagaimana sumber mereka muncul]

Asas ini ialah dalam keadaan mereka tidak wujud, 'yang mungkin' membuat permohonan kepada Nama-nama Ilahi daripada keadaan kehinaan dan pergantungan. Kata mereka, "Ketidakwujudan membutakan kami daripada pengertian satu sama lain dan kepada mengenali apa yang kami berhutang denganmu. Jika kamu menyatakan sumber kami dan pakaikan kami dengan pakaian wujud, kamu merahmati kami dengannya dan kami akan menanggung kemuliaan dan ketinggian itu kewajipan berhubung dengan kamu. Penguasaan adalah sah bagi kamu dalam kenyataan kami yang sebenarnya. Kini kamu adalah Tuan bagi kami semua melalui kuasa dan keupayaan. Inilah yang kami cari daripada kamu adalah lebih banyak daripadanya dalam hubungannya dengan kami." Nama-nama menjawab, "Ini, apa 'yang mungkin' katakan itu adalah sah." Mereka bergerak untuk mencari yang demikian.

Kemudian mereka menghadap nama, al-Qadir (Yang Berkuasa). Dia berkata, "Aku di bawah penguasaan Yang Menjadikan. Aku tidak boleh membawa sebarang sumber daripada kamu kepada kewujudan melainkan dengan arahan-Nya. Tidak ada yang mungkin bagi-Ku kecuali perintah daripada Yang Memerintah datang kepadanya daripada Tuhannya. Apabila Dia perintahkannya supaya mengambil bentuk dan berkata, 'Jadi!' maka Aku boleh melakukannya dan hubungkannya kepada pembawaannya kepada kewujudan, maka Aku berikannya bentuk dari saat itu. Pergilah kepada nama Yang Menjadikan. Boleh jadi Dia akan berkenan dan jadikan lebih berpengaruh aspek kewujudan di atas aspek tidak wujud. Yang Memerintah, Yang Berkata-kata dan Diri-Ku akan bergabung bersama dan membawa kamu kepada kewujudan."

Mereka pergi kepada nama, Yang Menjadikan, dan berkata kepada-Nya, "Kami telah bertanyakan nama Yang Berkuasa, untuk membawa sumber kami kepada kewujudan. Dia merujukkan perkara ini kepada kamu. Apakah kata kamu?" Yang Menjadikan berkata, "Yang Berkuasa berkata benar, tetapi aku tidak memiliki berita tentang nama Yang Mengetahui telah putuskan berhubung dengan kamu, samada ilmu-Nya untuk membawa kamu kepada kewujudan sudah mendahului secara khusus ataupun tidak. Aku di bawah penguasaan nama Yang Mengetahui. Pergilah kepada-Nya dan ceritakan hal kamu".

Mereka kemudian pergi kepada nama, yang Mengetahui, dan menceritakan kepada-Nya apa yang nama, Yang Menjadikan katakan kepada mereka. Yang Mengetahui berkata, "Yang Menjadikan berkata benar. Ilmu-Ku mengenai kamu keluar kepada kewujudan sudahpun mendahului, tetapi adab adalah lebih sesuai. Di sana ada hadrat (kehadiran) yang mengawal kita, dan ia adalah nama Allah. Kita mesti menghadap-Nya, kerana ia adalah kehadiran bagi perkumpulan."

Semua nama-nama berkumpul dalam kehadiran Allah. Dia berkata, "Apakah keperluan kamu?" Mereka menceritakan kepada-Nya. Dia berkata, " Aku adalah nama yang mengumpulkan semua hakikat-hakikat kamu. Aku adalah bukti bagi yang dinamakan, dan ianya adalah Zat yang murni yang memiliki sifat kesempurnaan dan 'tiada-hubungan' (tanzih). Tunggu sehingga Aku masuk kepada pembuktian-Ku." Dia pergi kepada pembuktian-Nya dan memberitahu-Nya apakah yang dikatakan oleh 'yang mungkin' kepada-Nya dan apa yang nama-nama rundingkan. Dia berkata, "Pergilah dan beritahu setiap Nama itu agar mengikat dirinya kepada apa yang hakikatnya tuntut dalam 'yang mungkin' itu. Aku adalah Esa dengan Diri-Ku dalam hubungan Diri-Ku. 'Yang mungkin' memerlukan darjat-Ku, dan darjat-Ku memerlukan mereka. Semua Nama-nama Ilahi kepunyaan darjat itu, bukan kepada-Ku, kecuali untuk Yang Esa. Ia adalah Nama khusus bagi-Ku, dan tidak ada yang berkongsikannya dengan-Ku dalam hakikatnya dalam aspek apa sekalipun, samada di kalangan nama-nama, darjat atau 'yang mungkin'.


[Perseimbangan yang diketahui, had yang ditentukan dan Imam yang dipelihara]

Nama Allah keluar, dan dengan-Nya keluar nama, Yang Berkata-kata, untuk menterjemahkan bagi-Nya kepada 'yang mungkin' dan Nama-nama. Dia nyatakan kepada mereka apa Yang Dinamakan nyatakan. Maka Yang Mengetahui, Yang Menjadikan, Yang Berkata-kata dan Yang Berkuasa dihubungkan, dan 'yang mungkin' pertama muncul, melalui pilihan Yang Menjadikan dan keputusan Yang Mengetahui.

Apabila sumber dan kesan muncul dalam makhluk, sebahagian mula menekan yang lain dan mengatasi mereka menurut apa yang mereka diasaskan daripada nama-nama dan ini membawa kepada perselisihan dan perbalahan. Mereka berkata, "Kami bimbang susunan kami akan menjadi buruk dan kami akan disatukan dengan yang tidak wujud yang kami berada dalamnya". 'Yang mungkin' mengingatkan Nama-nama tentang apa yang telah diberitahu kepada mereka oleh Nama-nama, Yang Mengetahui dan Yang Mentadbir. Mereka berkata, "Wahai Nama-nama! Jika keputusan kamu di atas perseimbangan yang diketahui, dan had yang ditentukan oleh Penghulu yang kamu rujukkan, kewujudan kami akan dipelihara untuk kami dan kami akan pelihara kesan kamu di atas kami untuk kamu. Itu adalah lebih baik bagi kami dan kamu. Jika tidak, kami akan musnah dan hilang". Mereka berkata, "Ini adalah pendapat yang berguna dan benar". Maka mereka lakukan yang demikian. Mereka berkata, "Nama, Yang Mentadbir, adalah yang menentukan hal kamu". Mereka pergi kepada Yang Mentadbir membawa hal mereka. Dia berkata, "Aku akan lakukannya".

Dia masuk dan muncul dengan perintah Hakikat kepada Nama, Rab. Dia berkata kepada-Nya, "Lakukan apa yang kemanfaatan perlukan bagi menjadikan sumber kepada yang mungkin ini berkesinambungan". Dia melantik dua menteri untuk membantu-Nya sebagaimana perintah-Nya. Satu ialah Nama Yang Mentadbir dan satu lagi Nama Yang Membezakan. Allah berfirman,
"Dia mentadbir urusan itu dan membezakan tanda-tanda. Boleh jadi kamu menjadi yakin akan pertemuan dengan Rab kamu" (13:2)
iaitu Imam (Penghulu). Jadi perhatikan betapa bijaknya perkataan Allah bila Dia bawakan ayat menurut suasana yang mewajibkan hal itu didasarkan!


[Polisi (dasar) yang bijak dan peraturan yang lazim]

Nama, Rab, tentukan had bagi mereka dan letakkan peraturan bagi mereka untuk kebaikan kerajaan itu dan sebagai ujian siapakah di antara mereka yang baik amalannya. Allah letakkannya kepada dua lategori. Satu kategori dipanggil polisi yang bijaksana yang Dia letakkan dalam sifat diri-diri mereka yang ternama. Had yang ditentukan dan dan peraturan yang digariskan melalui kuasa yang mereka temui dalam diri mereka dalam setiap bandar, arah dan cuaca, menurut penyusunan tempat itu dan pembawaan mereka perlukan melalui ilmu mereka mengenai apa yang sesuai dengan kebijaksanaan. Mereka panggilnya peraturan (nawamis) yang bermakna "sebab-sebab bagi kebaikan" kerana dalam penggunaan teknikal, Namus adalah yang membawa kebaikan. Pengintai (jasus) adalah yang berurusan dengan kejahatan.


Nawamis adalah peraturan kebijaksanaan yang digubalkan oleh manusia yang bijaksana, datangnya daripada ilham yang dari Allah padahal mereka tidak menyedarinya. Yang demikian adalah bagi kebaikan dunia, peraturannya dan hubungannya dalam tempat-tempat yang Syariat Ilahi tidak sampai, tidak juga ilmu tentang Yang Esa yang menurunkan peraturan ini dan perkara ini membawa hampir dengan Allah, mewarisi syurga atau neraka bukan juga sesuatu daripada asbab Alam Kemudian. Mereka tidak tahu adanya Alam Kemudian dan kebangkitan jasad selepas mati dalam bentuk jasad yang asli dan akan ada makanan, minuman, pakaian, persetubuhan dan keseronokan, dan dalamnya akan ada seksaan dan azab. Kewujudan yang demikian adalah harus, dan ketidak-wujudannya juga harus. Mereka tidak mempunyai bukti yang satu daripada dua itu lebih berat daripada yang satu lagi.
"Mereka melahirkan kependetaan" (57:27).
Oleh sebab itu asas peraturan mereka dan manfaatnya adalah untuk menjadikan faedah terlaksana di sini.

Dalam diri mereka, mereka memiliki ilmu Ilahi: tauhid tentang Allah dan ketinggian serta kemuliaan yang mesti ada dengan-Nya, sifat-sifat tanzih (tiada-hubungan) dan ketidak-wujudan sebarang tara atau persamaan. Orang yang menyaksikan yang demikian dan yang mengetahuinya menceritakannya kepada yang lain. Mereka menggalakkan orang ramai supaya melakukan penyelidikan yang benar dan mengajar mereka bahawa akal, dalam hubungan pemikirannya, ada had yang padanya ia berhenti dan tidak berupaya melepasinya, dan bahawa Allah kurniakan ilham suci kepada hati-hati sebahagian hamba-hamba-Nya yang dengannya Dia ajarkan kepada mereka ilmu yang langsung daripada-Nya agar ia tidak menjadi mustahil bagi mereka. Allah pertaruhkan kepada alam langit perkara-perkara yang dirumuskan melalui adanya kesan mereka pada alam anasir. Dia berfirman,
"Dia bukakan pada setiap langit peraturannya" (41:12).

Mereka mencari hakikat diri mereka melalui apa yang mereka lihat - apabila jasad yang berbentuk ini mati, tidak ada daripada pancaindera yang kurang. Lalu mereka tahu bahawa yang menyaksikan dan yang menggerakkan tubuh fizikal ini adalah unsur lain yang menjadi tambahan kepadanya. Mereka mencari unsur tambahan itu, maka mereka mengenali diri mereka. Kemudian mereka melihat apa yang diketahui sesudah kejahilan. Mereka tahu bahawa sekalipun ianya tubuh yang paling mulia, ianya disertai oleh kemiskinan dan kehilangan. Mereka mencari puncanya dengan penyelidikan, bergerak dari satu benda kepada yang lain. Bila sahaja mereka sampai kepada sesuatu perkara, mereka melihatnya memerlukan sesuatu yang lain sehinggalah pemerhatian membawa mereka kepada sesuatu yang tidak memerlukan apa-apa bukan juga serupa dengan sesuatu yang menyerupai sesuatu dan tidak juga sesuatu menyerupainya. Mereka berhenti padanya dan berkata, "Inilah Yang Pertama". Ia mestinya Yang Satu dengan zatnya dalam hubungan zatnya, dan kepertamaannya tidak menerima yang kedua, tidak juga keesaan-Nya kerana Dia tidak mempunyai keserupaan dan tidak juga persamaan. Mereka mengesakan-Nya dengan tauhid wujud. Apabila mereka melihat yang demikian, dengan diri mereka, 'yang mungkin' tidak memiliki penguasaan dengan zat mereka, mereka tahu bahawa Yang Satu ini memberikan mereka kewujudan. Mereka memerlukan dan bergantung kepada-Nya dan kepada kekuatan-Nya untuk melepaskan daripada mereka semua yang dengannya zat mereka digambarkan. Inilah batas akal (dalam pemikiran).


[Polisi Syariat dan peraturan Ilahi]

Demikianlah kami jelaskan tentang mereka. Apabila seseorang dari kalangan mereka muncul yang mereka anggapkan orang itu tidak mempunyai darjat dalam ilmu untuk mereka percaya, dan mempunyai fikiran yang benar serta perhatian yang wajar, dan kemudian orang itu berkata kepada mereka, "Aku adalah Utusan Aallah kepada kamu," mereka berkata, "Keadilan lebih sesuai. Lihatlah kepada dasar pengakuan itu. Adakah dia mengaku sesuatu yang mungkin ataupun mustahil?" Mereka berkata, "Sudah teguh pegangan dengan kami bahawa Allah memiliki limpahan suci yang Dia boleh kurniakan kepada sesiapa yang Dia kehendaki sebagaimana Dia limpahkannya kepada roh-roh sfera-sfera dan akal-akal ini. Semuanya berkongsikan kemungkinan. Tidak ada daripada 'yang mungkin' itu lebih berhak daripada yang lain dalam apa 'yang mungkin'. Terpulang kepada kami untuk melihat kepada kebenaran orang yang membuat pengakuan itu atau melihat samada dia berbohong atau tidak. Kami tidak simpulkan salah satu daripada dua pendapat ini tanpa bukti. Ia adalah adab yang buruk dengan ilmu kami".

Mereka berkata, "Adakah kamu mempunyai bukti tentang kebenaran pengakuan kamu?" Dia membawakan kepada mereka bukti-bukti, dan mereka memerhatikan keterangan dan bukti-buktinya. Mereka memerhatikan untuk mengetahui apakah yang orang ini miliki daripada maklumat-maklumat mengenai hasil pemikiran dan apakah yang dia tidak perakui mengenainya. Mereka mengetahui bahawa sebagaian daripada yang dibukakan dalam setiap langit oleh Yang Esa, yang membukakan pada setiap langit peraturannya, adalah mengenai kedatangan orang ini dan apa yang dia bawakan. Mereka bersegera kepadanya dengan mempercayai dan memperakuinya. Mereka mengetahui bahawa Allah telah memperkenalkannya dengan apa yang Dia telah amanahkan dalam makrifat alam tinggi yang pemikiran mereka tidak sampai. Kemudian Dia berikannya sebahagian daripada makrifat Allah yang mereka tidak miliki.

Mereka melihat bahawa Dia menurunkan ilmu mengenai Allah kepada manusia biasa, pendapat yang lemah, adalah dengan yang demikian sesuai bagi akalnya dalam yang demikian, dan kepada manusia yang berakal cerdas dan pemerhatian yang kuat adalah juga dengan yang demikian sesuai bagi akalnya dalam yang demikian. Mereka tahu bahawa lelaki itu telah menerima wahyu Ilahi yang melampaui tahap akal, dan bahawa Allah telah mengurniakan kepadanya sebahagian ilmu mengenai-Nya dan kekuasaan keatasnya yang Dia tidak berikan kepada mereka. Mereka memperkatakan nikmat-Nya dan kelebihan yang Dia kurniakan kepadanya melebihi mereka. Mereka percaya kepadanya dan perteguhkan dan mengikutinya. Dia adakan bagi mereka amalan yang membawa seseorang hampir dengan Allah dan dia ajarkan mereka apa yang Allah ciptakan dari yang mungkin yang tidak kelihatan bagi mereka, dan apa yang Dia akan bentukkan dalam mereka pada masa akan datang. Dia ceritakan kepada mereka tentang Dihidupkan-semula, Kebangkitan, Dikumpulkan, Syurga dan Neraka.


[Asas pembentukan Syariat yang suci dalam dunia ini]

Kemudian Rasul-rasul diutuskan silih berganti pada masa dan suasana yang berlainan. Setiap mereka memperakui sahabat mereka. Mereka tidak berbeza sama sekali dalam prinsip asas yang atasnya mereka pegang dan yang mereka tunjukkan, sekalipun perutusan berbeza. Undang-undang Tuhan diturunkan dan perutusan juga diturunkan. Perutusan menurut masa dan suasana sebagaimana firman-Nya,
"Kami tentukan peraturan (Syariat) dan amalan bagi setiap orang daripada kamu" (5:48).
Prinsip asas mereka bersamaan tanpa ada percanggahan dalamnya.

Mereka mengadakan perbandingan di antara risalat nabi yang datang daripada Allah dengan apa yang ahli falsafah tetapkan mengenai peraturan kata-kata falsafah yang mereka anggap sebagai hasil proses pemikiran. Mereka ketahui bahawa perkara ini lebih lengkap dan ia daripada Allah tanpa keraguan. Oleh itu mereka menerima apa yang dia ajarkan kepada mereka daripada alam ghaib dan mereka percaya bahawa kepada Utusan-utusan. Tidak ada dari kalangan mereka yang membantah, tetapi sebahagiannya tidak memberikan keyakinan yang penuh kepadanya dan ilmunya dan mereka
"menurut hawa nafsu" (7:178)
dan melantik pemimpin dari kalangan mereka sendiri. Mereka jahil tentang diri mereka yang sebenar dan nilainya, dan mereka jahil tentang Tuhan mereka.

Akar dan sebab bagi diturunkan Syariat kepada dunia ini ialah untuk menjadikan dunia ini dalam keadaan sejahtera dan perakuan tentang apa yang tidak diketahui daripada Allah yang tidak diterima oleh akal, iaitu apa yang akal tidak miliki sendirinya dalam hubungan pemerhatiannya. Jadi Kitab diturunkan yang mengandungi ilmu ini, dan lidah Nabi dan rasul membacakannya. Dengan demikian orang yang berakal menegtahui bahawa mereka kekurangan dalam perkara penegtahuan mengenai Allah yang Rasul-rasul memilikinya dengan sempurna.


[Manusia berakal yang sebenarnya dan mereka yang memiliki kekhuatiran,
perselisihan dan perkataan-perkataan]

Dengan menggunakan manusia yang berakal, saya tidak maksudkan mutakallimun hari ini menurut kebijaksanaannya. Yang saya maksudkan ialah sesiapa yang mengikuti jalan Rasulullah s.a.w dengan memerhatikan dirinya, membentuk disiplin diri, bermujahadah, berkhalwat dan persediaan untuk kedatangan waridat yang akan datang ke dalam hati mereka apabila sifat mereka menjadi sebahagian daripada alam atas yang dalamnya pembukaan diberikan dalam langit yang tinggi. Mereka ini, iaitu mereka yang berakal, mengadakan celoteh, ucapan dan perbahasan dengan mereka yang menggunakan fikiran dalam perkara yang diperkatakan yang dikeluarkan oleh yang terdahulu. Mereka tidak melihat perkara itu daripada apa yang orang-orang itu perolehi. Begitulah keadaan kita hari ini, mereka tidak ada nilai dengan sebarang manusia berakal. Mereka memperolok-olokkan dan merendahkan hamba-hamba Allah, dan mereka hanya menghormati orang sama taraf dengan mereka. Kecintaan kepada dunia ini menguasai jiwa mereka, begitu juga cita-cita kepada pangkat dan kedudukan. Allah menghinakan mereka sebagaimana mereka menghina ilmu dan Dia merendahkan mereka. Dia jadikan mereka pergi kepada pintu-pintu raja dan gabernor yang jahil. Raja dan gabernor itu menghina mereka.

Perkataan orang-orang seperti itu tidak penting.
"Allah telah metrikan hati mereka" (7:2),
"jadikan mereka pekak dan adakan tutupan atas pandangan mereka" (47:23)
walaupun mereka mengaku merekalah yang terbaik di dalam dunia ini. Ahli feqah dan mufti yang di dalam naungan Allah adalah lebih baik daripada mereka sekalipun mereka kurang ketelitiannya dalam segala aspek. Orang yang mempunyai keyakinan, sekalipun dia mengambilnya melalui tiruan, berada dalam suasana yang lebih baik daripada mereka yang berakal itu dalam apa yang mereka dakwakan. Jauh sekali daripada kedudukan seorang yang berakal dengan keadaan mereka yang demikian!

Kami telah menyaksikan sebahagian daripada mereka yang merupakan orang-orang yang paling mengetahui tentang skop Rasul-rasul dan mengikuti sunnah dengan bersungguh-sungguh, dan sangat memelihara Sunnahnya, ahli makrifat mengenai apa yang perlu mengenai keagungan Yang Haq dalam ketinggian, mengetahui apa yang Allah kurniakan kepada hamba-hamba-Nya di kalangan Nabi-nabi dan pengikut mereka dari kalangan aulia di atas jalan mengenali Allah dari arah limpahan suci yang pilihan yang terkeluar daripada pengajaran yang biasa pada jalan pembelajaran dan mujahadah yang akal tidak mampu mencapainya melalui pemikirannya.

Saya dengar salah seorang daripada orang yang terkenal dari kalangan mereka, yang telah menyaksikan sebahagian daripada apa yang Allah telah bukakan kepada saya mengenai ilmu tentang-Nya tanpa pemikiran dan pembacaan. Ianya daripada khlawat khusus yang saya lakukan dengan Allah ketika saya tidak berada bersama-sama mereka yang mencari. Dia berkata, "Segala puji bagi Allah yang mengizinkan daku berada dalam zaman yang dalamnya daku melihat seseorang yang Allah kurnikan rahmat daripada-Nya dan ilmu daripada hadrat-Nya!" Allah kurniakan rahmat kepada sesiapa yang Dia kehendaki, dan Allah memiliki nikmat yang luas.

"Allah katakan yang benar dan memimpin kepada jalan yang benar".

Mansur Al-Hallaj - Sufi Agung


MUNGKIN ada di antara kita yang masih tertanya-tanya : "Kalau begitu mengapa pula Al-Hallaj telah dijatuhkan hukuman mati???
Barangsiapa mengenal sejarah Islam, pasti mengenal kata-kata "Ana Al-Haq". Kata-kata ini sendiri, sebenarnya sudah menggoda keawaman, apalagi kesolehan seorang Muslim.
Terlebih lagi ketika ia terkait pada riwayat dan kisah-kisah Mansur Al-Hallaj seorang Sufi besar.
Pada abad ke-14 ahli Sufi terkenal Al-Hallaj, iaitu Abu al-Mughith al-Husain ibn Mansur al-Hallaj, lahir pada 858 Masihi di Tur, Iran dan meninggal dunia (mati dipancung) di tiang gantungan pada 26 Mac 922 di Baghdad, di tepi sungai Euphrat, tempat mengalir bukan hanya sebahagian peradaban Islam, tetapi juga sebahagian peradaban dunia kita ini. Dibunuh kerana dituduh murtad dan kafir.
Dia pada mulanya mendapat pengiktirafan daripada Ulama' sezamannya. Ini kerana beliau seorang pengibadat yang sangat handal. Beliau seorang yang kuat sembahyang (solat) dan sentiasa berpuasa setiap masa.
Tetapi apabila beliau mendakwa bahawa dirinya adalah hak, beliau dipandang serong dan kafir oleh beberapa ramai Ulama'.
Beliau berkata : "Saya adalah Haq", di mana di dalam bahasa Arab disebut "Ana Al-Haq" atau disebut dalam bahasa Inggeris "I am the truth". Ungkapan itu ditafsirkan bahawa beliau menganggap zat Allah berada dalam diri.
Dengan berfalsafah sebegitu rupa, Al-Hallaj dipenjara dan disebat. Beliau kemudian disalib selepas dipotong tangan dan kakinya. Malah mayat beliau dibakar dan abunya dihanyutkan ke sungai Dajlah. Sedang kepalanya dibawa ke Khurasan untuk selanjutnya dipersaksikan oleh ummat, Islam dan sejarahnya.
Begitulah kekuasaan, masa itu, dinasti Abbasiah memuas dirinya dengan kematian Mansur Al-Hallaj.
Seorang lagi Sufi besar iaitu Syeikh Al-Syibli berkata bahawa meskipun beliau sendiri dan Abu al-Mughith al-Husain mengeluarkan kata-kata yang sama (Ana Al-Haq), tetapi beliau dibiarkan begitu sahaja kerana orang menyangkanya gila, tetapi Abu al-Mughith al-Husain disalib kerana orang menganggap dia bukan gila dan bijak pula.
Mansur Al-Hallaj, menerima pendidikan dan asuhan pertamanya daripada 'Alim Sahal Ibn 'Abdullah seorang Sufi besar yang terken
 

Diriku..

"Tuhanku, sesungguhnya telah menolak aku semua alam ini dalam menuju kepada Mu. Dan sesungguhnya ilmuku telah memberhentikan aku dihadapan Mu kerana adanya kemurahan Mu." -Si Cacai hina-

Site Info

Doa Kekasih Allah...

“Tuhanku! Apa sahaja yang Engkau hendak kurnia kepadaku berkenaan dunia, berikanlah kepada musuhku dan apa sahaja kebaikan yang Engkau hendak kurnia kepadaku berkenaan akhirat, berikanlah kepada orang-orang yang berIman, kerana aku hanya hendakkan Engkau kerana Engkau. Biarlah aku tidak dapat Syurga atau Neraka. Aku hendak pandangan Engkau padaku sahaja.” -Rabi'atul Adawiyyah-

.....SUFI JALANKU..... Copyright © 2009 Template is Designed by Islamic Wallpers